Warga Desa Ini 2 Persen Tunarungu-Wicara tapi Bebas Bercerita Apa Saja

Warga Desa Ini 2 Persen Tunarungu-Wicara tapi Bebas Bercerita Apa Saja
Ketut Kanta (kiri) bercerita di hadapan warga kolok di tempat berkumpul, Kawasan ekonomi Masyarakat Kolok Bengkala, Minggu (16/7). FOTO: BAYU PUTRA/JAWA POS

Bengkala adalah desa dengan jumlah populasi kolok –sebutan untuk tunarungu-wicara di desa tersebut– terbanyak di Indonesia.

Dari total penduduk 2.500 jiwa, 45 orang atau hampir 2 persen di antaranya merupakan kolok. Kondisi tersebut menjadikan kolok sesuatu yang lumrah. Atau bagian dari keseharian.

Sama sekali tak ada diskriminasi. Tak ada perlakuan berbeda terhadap kolok. Interaksi dan komunikasi pun berjalan tanpa kendala.

”Menurut seorang peneliti dari Kanada yang pernah meneliti di sini, kondisi harmonis seperti di Bengkala ini, antara kolok dan non-kolok, hanya bisa ditemukan di tiga negara lain. Yaitu, Meksiko, Israel, dan Ghana,” kata Kanta.

Harmoni di Bengkala itu tercipta, antara lain, karena keberhasilan para warga tunarungu-wicara mengembangkan bahasa isyarat sendiri.

Menurut Kanta, bahasa isyarat yang umum digunakan saat ini dibuat orang nontunarungu-wicara dan digunakan kalangan tunarungu-wicara.

’’Kalau di sini, orang kolok yang menciptakan sendiri bahasanya, lalu dipelajari orang non-tunarungu-wicara,’’ lanjutnya.

Alhasil, bahasanya pun berbeda dengan bahasa isyarat umum. Misalnya, untuk menyebut ”aku”, orang tunarungu-wicara menyampaikannya dengan menempelkan telapak tangan ke dada.

Hampir semua penduduk bisa memahami bahasa isyarat yang dikembangkan sendiri oleh warga tunarungu-wicara di Bengkala Kecamatan Kubutambahan, Buleleng,

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News