Yenti Garnasih, Doktor Ahli Pencucian Uang Pertama di Indonesia

Jadi Peragawati dan Penari Dulu, Lalu Dalami Hukum

Yenti Garnasih, Doktor Ahli Pencucian Uang Pertama di Indonesia
Doktor Pertama Pidana Pencucian Uang di Indonesia, Yenti Garnasih, ketika ditemui di kantornya, Fakultas Hukum, Universitas Trisakti. FOTO : Sekaring Ratri Adaninggar/Jawa Pos
"Memang waktu itu kita mengatakan tidak peduli membangun negara ini dengan uang apa saja. Sehingga oleh organisasi internasional, Indonesia diancam akan di-blacklist. International Monetary Fund (IMF) tidak akan memberikan utang. Indonesia juga dilarang mendapatkan dolar, tidak boleh membuka cabang banknya di luar negeri, tidak boleh mengimpor dan mengekspor barang-barangnya jika tidak membuat UU pidana pencucian uang. Dari situ, baru Indonesia langsung menyusun UU dan disahkan pada 2002," paparnya dengan sedikit berapi-api.

Kekecewaan Yenti belum berakhir. Semenjak diundangkan pada 2002 lalu, masih sangat sedikit kasus pidana korupsi yang melibatkan pencucian uang. Padahal, jika duit korupsi tersebut dibelanjakan, sudah jelas koruptor tersebut melakukan tindak pidana pencucian uang. "Kita lihat saja, jumlah transaksi mencurigakan di PPATK itu mencapai 11 ribu, tapi yang ditindaklanjuti atau masuk ke pengadilan baru sekitar 30 pada 2002-2010.

Padahal, kalau diterapkan, undang-undang itu bisa membuat jera para koruptor. Para calon koruptor yang lain juga jadi berpikir dua kali kalau mau korupsi. Buat apa korupsi, kalau uangnya tidak bisa dibelanjakan. Makanya, saya menyebut pencucian uang ini sapu jagat buat kejahatan korupsi di Indonesia," tegasnya. (c2/kum)

Tak banyak pakar hukum di Indonesia yang secara khusus mendalami masalah pencucian uang (money laundering). Dari yang tak banyak itu, Dr Yenti Garnasih


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News