Zaytun Ibrani

Oleh: Dahlan Iskan

Zaytun Ibrani
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

Kegelapan itu membuat saya tidak bisa menjelaskan suasana antara gerbang ini dan tempat saya menginap: Wisma Tamu Al Zaytun.

Malam itu saya seperti melewati hutan jati yang luas. Jalan di tengah "hutan" itu lebar sekali. Aspal. Kanan-kirinya ada jalan yang lebih kecil.

Jalan lebar di tengah itu untuk mobil dua arah. Jalan di kiri untuk sepeda dua arah. Jalan di kanan untuk motor dua arah.
Tertata.

Lalu ada simpang tiga. Kami belok ke kiri. Masih hutan jati. "Itu workshop baja. Semua bangunan di sini berkonstruksi baja," ujar Syekh sambil menunjuk arah gelap.

Beberapa menit kemudian Syekh menunjukkan jari lagi ke kegelapan yang lain: di sana sawmill. Ada pabrik mebel di situ. Semua mebel tidak ada yang dibeli.

"Kalau kita tadi belok kanan ke mana?" tanya saya.

"Ke pabrik beras, cold storage, dan pabrik air minum dalam kemasan," jawabnya.

Air minum untuk 8.000 penghuni madrasah ini diproduksi sendiri. Beras juga diolah sendiri dari sawah sendiri. Kalau menyembelih ayam sekaligus sekian ribu, lalu dimasukkan cold storage.

KAMI tiba di kompleks Pesantren Al Zaytun sudah sangat gelap. Tetapi penjaga gerbang langsung tahu siapa yang datang. Mobil Syekh Panji Gumilang...

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News