Ahli Hukum: Perkara Syafruddin Temenggung Tidak Masuk Akal

Ahli Hukum: Perkara Syafruddin Temenggung Tidak Masuk Akal
Ahli hukum pidana, Profesor Andi Hamzah ketika memberikan keterangan dalam persidangan perkara dugaan korupsi penerbitan SKL bagi obligor BLBI di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Kamis (16/8). Foto: Ist

Berikutnya, kata Andi, berkaitan dengan Pasal 3 UU Tipikor yang mencantumkan kalimat “dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” itu termasuk kategori perbuatan sengaja tingkat satu. Artinya, harus dibuktikan ada kesengajaan sebagai maksud. Karena ada kata-kata “dengan tujuan”. Semua pasal undang-undang pidana yang ada kata “tujuan”, “dengan maksud”, itu artinya sengaja.

“Jadi perlu ditekankan bahwa Pasal 2 dan Pasal 3 itu perbuatan sengaja. Tidak bisa kelalaian, tidak bisa pengabaian, memperkaya artinya sengaja,” ujarnya.

Sebagai catatan, dalam dakwaan terhadap Syafruddin memang sama sekali tidak tercantum mengenai suap atau kickback (pemberian balik). Syafruddin didakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor yang intinya antara lain tindak pidana berkaitan dengan perbuatan melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, yang merugikan keuangan negara.

Dakwaan Bersama-sama

Persoalan pokok lain yang dikemukakan oleh Prof. Andi Hamzah adalah mengenai dakwaan bersama-sama melakukan perbuatan korupsi yang dituduhkan terhadap Syafruddin. Apalagi saat ini Syafruddin hanya seorang diri diajukan sebagai terdakwa di pengadilan. Padahal dalam surat dakwaan jaksa yang dibacakan pada 14 Mei 2018, jelas tercantum nama-nama lain yang didakwa merugikan negara hingga Rp 4,58 triliun.

“Bahwa terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung selaku Ketua BPPN pada periode tahun 2002 hingga 2004 bersama-sama Dorojatun Kuntjoro-Jakti, Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim pada sekitar tanggal 21 Oktober 2003, 29 Oktober 2003, tanggal 13 Februari 2004, tanggal 26 April 2004 atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam tahun 2003 dan tahun 2004 telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan, secara melawan hukum,” demikian isi dakwaan jaksa.

Menurut Andi, di situlah akar munculnya ketidakadilan di Indonesia yang nyata sekali. “Karena orang dituduh turut serta bersama-sama melakukan tindak pidana tapi yang satu dihukum yang lain tidak,” ujarnya.

Seharusnya, kata Andi, dalam perkara “bersama-sama” seperti itu, berkasnya tidak boleh dipisah. “Jadi saya berpendapat kalau medepleger (turut serta/bersama-sama) itu harus disidang serentak. Bisa terjadi ketidakadilan (kalau dipisah). Putusannya bisa berbeda. Hakimnya beda nanti, waktunya berbeda, jaksanya berbeda, penasihat hukumnya berbeda,” katanya.

Syafruddin hanya seorang diri diajukan sebagai terdakwa di pengadilan. Padahal dalam surat dakwaan jaksa yang dibacakan 14 Mei 2018, jelas tercantum nama lain.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News