Ahli Hukum: Perkara Syafruddin Temenggung Tidak Masuk Akal

Ahli Hukum: Perkara Syafruddin Temenggung Tidak Masuk Akal
Ahli hukum pidana, Profesor Andi Hamzah ketika memberikan keterangan dalam persidangan perkara dugaan korupsi penerbitan SKL bagi obligor BLBI di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Kamis (16/8). Foto: Ist

jpnn.com, JAKARTA - Ahli hukum pidana, Profesor Andi Hamzah, yang dihadirkan dalam persidangan perkara dugaan korupsi berkaitan dengan penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) bagi obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Sjamsul Nursalim, menyatakan, tidaklah masuk akal seseorang disebut memperkaya orang lain yang tidak ada hubungan keluarga atau hubungan dekat lainnya, apalagi dengan merugikan keuangan negaranya sendiri.

Andi menilai, perkara yang menempatkan mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai terdakwa itu, dengan demikian tidak masuk akal.

“(Sjamsul) Nursalim ada hubungan keluarga dengan itu (Syafruddin) enggak? Tidak ada kan. Jadi untuk apa memperkaya dia (Sjamsul Nursalim). Di mana otaknya, memperkaya orang lain kemudian merugikan negaranya sendiri? Tidak masuk akal kan? (Kecuali) kalau ada suap. Nah (suap) tidak ada dalam dakwaan (Syafruddin) kan,” kata Andi ketika memberikan keterangan dalam persidangan, Kamis (16/8), di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.

Andi, yang merupakan Ketua Tim Penyusun Inter-Departemen UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor itu, menegaskan, jika seseorang dituduh memperkaya orang lain yang tidak terdapat hubungan keluarga atau hubungan dekat lainnya, lalu negaranya dirugikan, untuk apa? “(Korupsi) terjadi kalau ada kickback,” kata Andi.

Lantas bagaimana dengan memperkaya diri sendiri? Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Trisakti itu menjelaskan “memperkaya diri sendiri” dan “merugikan keuangan negara” sebenarnya menurut Konvensi Internasional yaitu United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) bukanlah merupakan unsur tindak pidana korupsi.

“Yang paling perlu dibuktikan adalah dia (terdakwa) melawan hukum; yang kedua, kalau memperkaya diri sendiri, jumlahnya berapa,” jelasnya.

Lebih dalam Andi menjelaskan perbedaan “memperkaya diri sendiri” dan “memperkaya orang lain”. Kalau “memperkaya diri sendiri” bisa dilakukan sendirian atau bersama-sama (turut serta/medepleger); “memperkaya orang lain” mesti ada motifnya.

“Apa dia tantenya diperkaya, atau teman dekatnya, atau pamannya, atau kemenakannya, atau anaknya. Tapi kalau orang lain sama sekali yang diperkaya tidak masuk akal. Mana ada manusia, pejabat, mau memperkaya orang lain dengan merugikan negara dan bukan keluarganya itu orang, untuk apa? Jadi dalam hal itu kalau memperkaya orang lain yang tidak ada hubungan keluarga sama sekali itu mestinya menurut saya berkaitan dengan kickback. Dia berbuat itu karena ada kickback,” papar Andi.

Syafruddin hanya seorang diri diajukan sebagai terdakwa di pengadilan. Padahal dalam surat dakwaan jaksa yang dibacakan 14 Mei 2018, jelas tercantum nama lain.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News