Aisha Kadhafi, 'Claudia Schiffer' dari Libya

Aisha Kadhafi, 'Claudia Schiffer' dari Libya
Aisha Kadhafi, 'Claudia Schiffer' dari Libya
Dia mendukung penuh IRA (Tentara Republik Irlandia) yang oleh Inggris dan banyak negara dicap teroris. Dia juga menjadi pengacara mantan Presiden Iraq Saddam Hussein yang digulingkan paksa Amerika Serikat.

Jadi, kalau untuk organisasi atau sosok kontroversial saja dia berani menempuh risiko, apalagi untuk bapak sendiri. Karena itu, tak mengherankan, kemarin di Tripoli dia turun ke jalan, naik ke tank, di tengah terik dan ancaman pengeboman oleh pasukan koalisi sembari meneriakkan, "Muammar Kadhafi adalah orang dan pemimpin hebat."
 
Dialah Aisha Kadhafi, putri Kadhafi. Sebagaimana dilansir Daily Star, sembari mengenakan kerudung, Aisha yang berbaju kurung panjang dengan kerudung itu penuh semangat mengibarkan bendera di hadapan kerumunan pendukung rezim yang berkuasa di Libya sejak 1969 tersebut.
 
Penampilan Aisha itu sejatinya sangat kontras dengan keseharian dirinya. Perempuan berambut pirang tersebut dikenal sebagai "Claudia Schiffer-nya Afrika Utara" karena gaya kesehariannya yang modis. Baju-bajunya adalah produk desainer kenamaan.
 
Selain untuk menyemangati para pendukung sang ayah, yang mendorong Aisha untuk turun ke tengah-tengah pendukung sang ayah adalah kabar kematian adiknya, Khamis. Meski kabar tersebut dibantah televisi pemerintah yang menayangkan Khamis di tengah lautan pendukung Kadhafi dua hari lalu, kebencian Aisha kepada negara-negara Barat semakin menggelora.
 
Sebab, pada 1986, dia kehilangan sang adik, Hanan, karena pengeboman udara oleh AS. "Saya bangun dan menjerit-jerit sebisanya begitu melihat dia meninggal. Darah ada di sekujur tubuh saya," ungkapnya kepada Daily Telegraph ketika itu.
 
Kabarnya, Aisha memang diminta sang ayah untuk turun ke jalan guna menyemangati para pendukung dan pasukan pro pemerintah. Entah benar berpengaruh atau tidak, yang pasti, berbarengan dengan aksi jalanan Aisha itu, pasukan pro-Kadhafi berhasil memukul mundur kubu pemberontak dari Ras Lanuf. Ras Lanuf merupakan kota minyak penting di 320 kilometer sebelah timur Tripoli yang baru tiga hari lalu dikuasai pemberontak atas bantuan gempuran udara pasukan koalisi.
 
"Kadhafi menghajar kami dengan roket-roket besar. Dia telah memasuki Ras Lanuf," kata Faraj Muftah, salah seorang anggota pasukan anti-Kadhafi, kepada Daily Mail.
 
Gempuran pasukan Kadhafi itu dimulai saat menghalau gerak pemberontak yang hendak memasuki Sirte, kota kelahiran Kadhafi. Melalui medan gurun pasir yang berat, loyalis Kadhafi terus mendesak posisi pemberontak yang harus terus mundur mendekati "ibu kota" mereka, Benghazi.
 
Pasukan koalisi sebenarnya juga terus membombardir basis-basis pertahanan pro-Kadhafi. Tapi, tampaknya, hal itu tak begitu berarti dalam upaya melemahkan kekuatan para pendukung sang kolonel.
 
Terpukulnya pemberontak tersebut merupakan setback atas keberhasilan menguasai kota-kota di bagian timur Libya selama tiga hari ini. Mungkin karena itu pula koalisi semakin serius mempertimbangkan pernyataan Presiden AS Barack Obama untuk mempersenjatai pasukan pemberontak.
 
"Kami memang belum memutuskan (ide mempersenjatai pemberontak) itu. Tapi, kami juga belum sepenuhnya menghapus kemungkinan tersebut," kata Susan Rice, duta besar AS untuk PBB.
 
Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton malah secara tegas menyatakan bahwa mempersenjatai pemberontak itu bukanlah pelanggaran Resolusi 1970 PBB. Perdana Menteri Inggris David Cameron juga secara terbuka mendukung ide Obama tersebut.
 
Padahal PBB sudah tegas menerapkan embargo senjata di Libya. Artinya, siapa pun tak boleh mengirimkan senjata ke negeri Afrika Utara itu, baik pasukan pemerintah maupun pemberontak.
 
Sekjen NATO Anders Forgh Rasmussen termasuk yang menentang ide kontroversial Obama itu. "Kita di Libya untuk melindungi warga sipil, bukan malah mempersenjatai mereka," tegasnya sebagaimana dikutip The Guardian. (c5/ttg)

Dia mendukung penuh IRA (Tentara Republik Irlandia) yang oleh Inggris dan banyak negara dicap teroris. Dia juga menjadi pengacara mantan


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News