Gunung Agung Erupsi

Andalkan Kode Alam Gunung Agung, Warga Kabur saat Mendung

Andalkan Kode Alam Gunung Agung, Warga Kabur saat Mendung
Nengah Tantri, istri dari Wayan Kantor saat memberikan makan sapi-sapinya di Dusun Juntal kaja, Desa Kubu, Kecamatan Kubu, Karangasem, Kamis (30/11). Foto: I Putu Mardika/Bali Express

jpnn.com, BALI - Warga di kawasan rawan bencana (KRB) III Gunung Agung seperti di Dusun Juntal Kaja, Desa Kubu, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem punya cara menyiasati status Awas Gunung Agung.

Di Juntal Kaja, suasana memang sudah sepi. Kawasan ini masuk zona merah atau berada di KRB III. Rumah-rumah penduduk yang berada di pinggir jalan sudah banyak ditinggal mengungsi oleh penghuninya.

Namun di antara jejeran rumah yang sepi akibat ditinggal mengungsi, rupanya masih ada beberapa rumah yang masih dihuni pada siang hari. Mereka tetap beraktivitas seperti biasa meskipun tetangga lainnya sudah pergi mengungsi.

Salah satunya adalah rumah milik Wayan Kantor. Pria berusia 73 tahun ini begitu sibuk memotong dedaunan untuk diberikan ternaknya seperti babi dan sapi di rumahnya. Dia memiliki puluhan ekor babi dan sedikitnya delapan ekor sapi.

Saat Bali Express (Jawa Pos Group) menanyakan mengapa belum mengungsi, kakek yang memiliki lima cucu, ini mengaku memang tengah mengungsi di wilayah Desa Tianyar Timur. Hanya saja Wayan Kantor bersama istrinya Nengah Tantri rutin pulang ke rumah setiap siang hari. Di sana Wayan Kantor bisa memberi pakan ternak serta memanen biji mete di kebunnya.

“Tiang tetep ngungsi. Peteng maten tiang ke pengungsian di Desa Tianyar Timur. Yen lemah tiang mulih. Sambilang maang ngamah ubuhan. Sanje tiang malih ngungsi. (Saya tetap mengungsi. Malam saja pergi ke pengungsian di Desa Tianyar Timur. Kalau siang saya pulang ke rumah. Sambil memberi makan ternak. Sore kembali mengungsi)," ujarnya.

Sembari memotong dedaunan, Wayan Kantor berbagi kisah tentang meletusnya Gunung Agung tahun 1963. Saat itu Wayan Kantor baru berusia sepuluh tahun. Dia pun sudah bisa mengembalakan sapi. Namun sayang, dua ekor sapi kesayangannya mati diterjang awan panas ketika terjadi letusan.

“Dugas letusan tahun 1963, tiang sube maumur 10 tiban. Be bisa ngubuh sampi. Pas letusan, sampin tiange mati dadua, kalain tiang mengungsi. Kene awan panas. Dugas to tiang ngungsi ke Tajun. (Saat letusan tahun 1963, saya baru berusia 10 tahun. Suah bisa mengembala sapi. Saat terjadi letusan, sapi saya mati dua ekor, karena ditinggal mengungsi. Terkena awan panas. Saat itu saya mengungsi ke Desa Tajun, Kecamatan Kubutambahan, Buleleng),” katanya.

Tahun 1963 juga begitu. Suasana mendung, gelap gulita saat Gunung Agung akan meletus.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News