Anjir & Anjay

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Anjir & Anjay
Dhimam Abror Djuraid. Foto: Ricardo/JPNN.com

Sebaliknya, masyarakat berbudaya konteks tinggi banyak mempergunakan bahasa simbolis dalam berkomunikasi. Selain itu bahasa yang dipakai juga mempunyai strata untuk membedakan status sosial dengan banyak jenjang dan tingkatan.

Dalam Bahasa Jawa ada bahasa ‘’ngoko, kromo, dan kromo inggil’’. Ngoko dipakai untuk berkomunikasi dengan seseorang yang sederajat, kromo dipakai untuk berbicara kepada orang yang lebih tua atau lebih tinggi derajatnya, dan kromo inggil adalah bahasa halus tertinggi yang dipakai di kalangan elite sosial Jawa.

HBS dan Gus Nur memakai gaya komunikasi konteks rendah dalam ceramah-ceramahnya, karena itu ceramahnya sering terdengar keras dengan idiom-idiom yang terasa sebagai caci-maki.

Karena itu pula gaya komunikasi konteks rendah ini lebih berpotensi terjaring oleh pasal ujaran kebencian seperti yang dialami oleh Gus Nur.

Hal yang sama dilakukan oleh HBS. Dalam salah satu ceramahnya yang viral dia mengancam akan menghabisi orang-orang yang dianggap berkhianat terhadap Habib Rizieq Shihab.

Pernyataan HBS ini menjadi viral di media sosial dan menuai kontroversi dari berbagai kalangan. Menghabisi dikonotasikan sebagai membunuh, meskipun sebenarnya tidak selalu demikian.

HBS juga menuai kontroversi ketika berbicara mengenai KSAD Jenderal Dudung Abdurrachman. Dalam ceramah itu HBS menyindir Jenderal Dudung yang disebutnya sebagai jenderal baliho yang menurunkan baliho Habib Rizieq. HBS mempertanyakan Jenderal Dudung yang tidak datang ke Lumajang untuk membantu korban letusan Gunung Semeru.

Ceramah itu beredar luas menjadi viral dan mendapat reaksi dari banyak kalangan, termasuk dari beberapa orang yang memaki seragam loreng.

Ada upaya teror yang dilakukan oleh seseorang terhadap Habib Bahar Smith, dengan cara mengirim paket berisi kepala anjir.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News