Arab Yahudi

Oleh: Dahlan Iskan

Arab Yahudi
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

Saya merasa berhasil berhemat 800 riyal. Luar biasa pujian untuk diri sendiri.

Baca Juga:

Hotel di Tabuk pun saya pilih yang pahe: 200 riyal. Daripada di hotel bintang 4 yang 600 riyal. Toh hanya untuk tidur 3 jam. Saya kembali bangga. Berhasil berhemat lagi 400 riyal.

Kembali ke terminal pagi itu pun dengan tujuan yang sama. Ingin naik bus umum lagi ke tujuan akhir: Sharma. Yakni kota wisata di pantai Laut Merah.

Saya tidak akan ke kota pantai itu. Saya tidak sedang berwisata. Saya ingin ke satu proyek sebelum kota Sharma. Proyek Neom. Yakni kota baru impian putra mahkota Mohammed bin Salman.

"Tidak ada bus jurusan Sharma," ujar petugas loket karcis di terminal kecil itu, apalagi Neom.

Saya kecewa. Berarti saya harus carter mobil. Pasti mahal. Saya menyesal: pagi ini gagal berhemat kali kedua.

Memang banyak mobil berderet di depan terminal itu. Saya tidak mau langsung ke deretan itu. Takut jadi rebutan. Seperti malam sebelumnya.

Diperebutkan seperti itu saya tidak bisa berpikir jernih. Akhirnya sudah berhasil menawar separo pun masih begitu mahal.

Saya berterima kasih ada orang sepintar itu. Sudah seperti Yahudi, bahkan saya sulit berpendapat pintar mana Arab dan Yahudi. Dalam hal berdagang.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News