AS dan Jepang Bentuk Satgas Pemberantasan Kerja Paksa, China Jadi Sasaran?

jpnn.com, WASHINGTON DC - Amerika Serikat dan Jepang pada Jumat (6/1) sepakat untuk mempercepat upaya menangani kerja paksa dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya dalam rantai pasokan melalui peluncuran satuan tugas (satgas) antara pemerintah kedua negara.
Satgas --yang diketuai bersama oleh Kantor Perwakilan Dagang AS dan Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang-- diharapkan berfungsi sebagai platform untuk berbagi informasi antara kedua negara dan memfasilitasi dialog dengan dunia bisnis saat Amerika Serikat terus bergerak untuk menindak kasus kerja paksa di China.
Undang-undang AS yang secara luas melarang impor dari wilayah Xinjiang China telah menimbulkan tantangan baru bagi rantai pasokan.
Washington meyakini bahwa warga minoritas Muslim Uighur di Xinjiang menjadi sasaran kerja paksa.
Wilayah Xinjiang merupakan daerah penghasil kapas utama dan pemasok utama panel surya.
Perwakilan Dagang AS Katherine Tai menyambut baik penandatanganan memorandum mengenai masalah kerja paksa dan menyebutnya sebagai "hasil nyata" dari kemitraan perdagangan AS dan Jepang.
Menteri perdagangan Jepang Yasutoshi Nishimura mengatakan pada acara penandatanganan memorandum itu bahwa pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai pasokan "benar-benar tidak dapat ditolerir".
Dia berharap satgas tersebut akan membantu perusahaan Jepang dan AS lebih aktif terlibat dalam upaya menegakkan hak asasi manusia melalui peningkatan "prediktabilitas" untuk bisnis.
Undang-undang Amerika Serikat yang secara luas melarang impor dari wilayah Xinjiang China telah menimbulkan tantangan baru bagi rantai pasokan.
- Hasil Semifinal Sudirman Cup 2025: China Mengerikan, Jepang Hancur
- Dunia Hari Ini: Amerika Serikat Sepakat untuk Membangun Kembali Ukraina
- Sudirman Cup 2025: Sempat Tertinggal 0-2, Jepang Mengalahkan Malaysia
- Respons Kritik AS soal QRIS, Waka MPR Eddy Soeparno: Terbukti Membantu Pelaku UMKM
- Orang Tertua di Jepang Meninggal Dunia, Sebegini Usianya
- 'Indonesia First’ demi RI yang Berdikari di Tengah Gejolak Dunia