Ataturk

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Ataturk
Patung Ataturk di Antalya. Foto: Reuters

Menyalahkan Islam sebagai penyebab kemunduran politik Turki adalah penyederhanaan yang menyesatkan. Kekhilafahan Turki Utsmani yang bisa berjaya selama enam abad di tataran global, adalah salah satu bukti bahwa Islam bisa menjadi kekuatan politik yang progresif.

Dunia Islam dianggap gagal mengadopsi modernisme yang menyebabkan kegagalan dalam beradaptasi dan melakukan reformasi menjadi negara yang modern.

Anggapan ini tidak sepenuhnya benar. Sebaliknya, dunia Islam sudah melakukan reformasi dan modernisasi sejak abad ke-19, melalui para pemikir yang memperkenalkan pembaruan di sentra-sentra kekuatan Islam di Istanbul, Kairo, sampai Teheran.

Sebuah studi yang dilakukan sejarawan Christopher de Bellaigue dan dituangkan dalam buku 'The Islamic Enlightenment: The Modern Struggle Between Faith and Reason' (2017), mengungkapkan pergulatan panjang yang dilakukan para pemikir Islam untuk merevitalisasi ajaran Islam dan menyesuaikannya dengan modernitas.

De Bellagiue melihat penguasaan Napoleon terhadap Mesir sebagai tonggak penting dalam pertarungan Timur melawan Barat.

Sejak pendudukan itu sampai 200 tahun kemudian, para reformis Islam berusaha melakukan revitalisasi untuk membangkitkan kejayaan Islam.

Namun, kekuatan kolonialisme menjadi penghalang utama reformasi di negara-negara Islam.

Kekuatan kolonialis dan imperialis Barat sengaja mencengkeram negara-negara Islam dan memaksakan modernisasi versi Barat dengan memisahkan agama dari politik.

Rencana menjadikan Mustafa Kamal Ataturk menjadi nama jalan di Jakarta mungkin akan mengungkit luka lama.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News