Awas! Sistem Pemilu Berbiaya Tinggi Picu Politik Uang, Berujung Korupsi

Awas! Sistem Pemilu Berbiaya Tinggi Picu Politik Uang, Berujung Korupsi
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Pemerintahan (PUSHAN) Dr. Oce Madril mengingatkan soal pemilu berbiaya tinggi, bisa memicu politik uang dan korupsi. Foto/ilustrasi: arsip JPNN.com/Ricardo

jpnn.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Pemerintahan (PUSHAN) Dr. Oce Madril mengatakan sistem Pemilu 2024 proposional terbuka dan tertutup pernah diberlakukan di Indonesia.

Namun, saat ini muncul kembali perdebatan antara sistem tersebut.

Sebagian kalangan menyatakan bahwa sistem proporsional tertutup dengan nyoblos partai lebih simpel dan lebih murah, tetapi sebagian yang lain tetap menginginkan agar sistem proporsional terbuka diterapkan.

“Konstitusi sebenarnya tidak mengatur mengenai sistem pemilu apa yang harus diterapkan. Jadi, pilihan sistem pemilu, apakah proporsional terbuka atau tertutup merupakan kebijakan hukum terbuka,” ujar Dr. Oce, di Jakarta, Kamis (5/1).

Dr. Oce mengingatkan ada implikasi dari setiap pilihan sistem pemilu tersebut.

Dia mencontohkan pada sistem proporsional terbuka dengan nyoblos caleg menitikberatkan pada individu, sehingga setiap calon legislatif berlomba-lomba untuk dapat terpilih dan mengeluarkan biaya banyak.

Hal ini menyebabkan politik berbiaya sangat tinggi (high cost politics).

"Banyak riset telah dilakukan yang menyimpulkan rata-rata pengeluaran Caleg DPR mencapai angka Rp 4 miliar dan bahkan ada yang menghabiskan sampai Rp 20 miliar. Di tingkat DPRD biayanya juga gila-gilaan hanya untuk berebut 1 kursi," ungkap Oce.

Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Pemerintahan (PUSHAN) Dr. Oce Madril mengingatkan soal pemilu berbiaya tinggi, bisa memicu politik uang dan korupsi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News