Bencana Kekeringan, Waspada Musim Paceklik

Bencana Kekeringan, Waspada Musim Paceklik
Sawah gagal panen karena kekeringan dan krisis air. Foto: Pojokpitu/JPG

Ironisnya, kemarau di beberapa daerah ini bukan hanya berimbas pada kekeringan semata. Pertanian juga terkena imbas.

Dikatakan Sutopo, banyak lahan pertanian mengalami puso atau rusak. Walaupun hal ini tidak berdampak secara signifikan, namun kasus ini harus juga menjadi sorotan. Sebab jika pertanian mengalami puso, tentu hal ini sangat berpengaruh dengan keadaan ekonomi masyarakat setempat

“Ini sangat berpengaruh terhadap ekonomi masyarakat selain mereka harus membeli air, masyarakat, menyewa pompa, dan sebagainya. Bayangkan, dalam kondisi ini petani harus mengeluarkan biaya tambahan Rp800 ribu untuk sewa pompa air dan membeli solar guna mengaliri sawahnya,” jelasnya.

Selain itu, sebagian petani katanya juga harus melakukan modifikasi pompa air dengan mengganti bahan bakar solar dengan gas 3 kg untuk dapat menghemat biaya Rp100 ribu-Rp150 ribu.

Disebutkan Sutopo, selama daerah aliran sungai tidak di tata dengan baik, konservasi tanah dan air tidak diindahkan, otomatis mata air dan sumber air semakin berkurang. Kemudian, masih adanya pembuangan limbah dan sampah ke sungai-sungai secara otomatis akan memerosotkan kualitas air di beberapa daerah.

“Selama masalah ini tidak ditangani, defisit air atau kekeringan akan semakin meluas,” ucapnya.

Hal senada disampaikan oleh Kepala Pusat Layanan Iklim Terapan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Guswanto.

Dia mengatakan jika musim kemarau tahun ini mempengaruhi sektor pertanian. Khususnya di sentra penghasil beras yang mengandalkan sawah tadah hujan.

Saat ini 70 persen wilayah di Indonesia masih mengalami musim kemarau dan kekeringan.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News