Bendera LGBT

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Bendera LGBT
Ilustrasi hubungan sesama jenis. Foto: Dokumen JPNN.com

Ini menunjukkan luasnya negara jajahan Inggris yang membentang dari belahan barat sampai ke timur sehingga matahari terus bersinar, karena perbedaan waktu sehari dari satu ujung ke ujung lainnya.

Harusnya Inggris malu dengan predikat itu. Akan tetapi Inggris justru bangga. Menjadi penjajah bukan sebuah aib tetapi sebuah tugas dari sebuah bangsa yang beradab untuk mengajari peradaban kepada negara-negara lain yang belum beradab.

Penjajahan bukan kejahatan melainkan ‘’The white man’s burden’’, kewajiban manusia kulit putih untuk memberadabkan manusia-manusia kulit berwarna.

Penjajahan kulit putih diperkuat dengan angkatan bersenjata dan dipertegas dengan penjajahan budaya. Edward Said mengecam penjajahan budaya ini dalam ‘’Culture and Imperialism’’.

Karya-karya sastra Inggris secara sengaja menjadi bagian dari strategi penjajahan untuk mencekoki mentalitas kaum terjajah bahwa mereka memang bangsa yang inferior yang harus diangkat derajatnya melalui penjajahan.

Budaya dan nilai-nilai sosial-politik kalangan penjajah dipaksakan sebagai nilai-nilai yang universal yang dipaksakan untuk diadopsi bangsa-bangsa di seluruh dunia.

Setelah wilayah Kekaisaran Inggris menciut pasca-Perang Dunia Kedua, mentalitas superior itu tetap masih dipertahankan dan diteruskan oleh Amerika yang menjadi superpower baru.

Nilai-nilai dalam hak asasi manusia dan demokrasi disebut sebagai nilai universal yang harus berlaku di seluruh dunia.

Pamer bendera LGBT secara terbuka menunjukkan arogansi Inggris yang merasa lebih pandai dalam hal toleransi dan penghormatan terhadap perbedaan.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News