Biaya Isi Ulang Uang Elektronik Dinilai Kurang Tepat

Biaya Isi Ulang Uang Elektronik Dinilai Kurang Tepat
Jasa Marga bakal berlakukan transaksi e-toll card di seluruh pintu tol. Foto dok JPG

Direktur Program Elektronifikasi Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran BI mengaku, awalnya BI memang menargetkan aturan pengenaan biaya isi ulang uang elektronik pada Juli.

Namun hingga saat ini Peraturan BI (PBI) yang dijanjikan belum keluar. "Kami masih kajian soal itu. Tahun ini PBI-nya akan keluar," ungkapnya.

Menurutnya, bank butuh stimulus agar mau mendukung GNNT. Sehingga, memberi ruang bagi bank untuk mendapatkan keuntungan dari bisnis uang elektronik adalah hal yang wajar.

Presiden Direktur PT Bank BCA Syariah John Kosasih mengaku, selama ini bank memang tidak mendapatkan keuntungan sama sekali dari bisnis uang elektronik. Pada hakikatnya, bisnis uang elektronik adalah edukasi untuk manfaat jangka panjang.

"Kalau ada halte Transjakarta yang mengenakan biaya isi ulang uang elektronik, itu yang menerima ya pihak Transjakarta, bukan bank. Kami enggak dapat apa-apa. Kami tunggu saja aturan BI akan seperti apa nanti," urainya.

Pengamat perbankan Paul Sutaryono menilai, biaya isi ulang kartu uang elektronik akan menjadi sumber pendapatan berbasis biaya (fee based income) bagi bank.

Hal itu diperlukan untuk mengimbangi pendapatan bunga yang terus menurun. Bagi bank, hal itu baik untuk meningkatkan profitabilitas.

Namun, bank punya pesaing yaitu perusahaan start-up. Start-up tersebut juga masuk ke bisnis uang elektronik, namun yang berbasis server, bukan berbasis kartu. Sejauh ini tidak ada biaya yang dikenakan untuk isi ulang akun uang elektronik pada start-up tersebut.

Rencana pengenaan biaya isi ulang kartu uang elektronik dinilai kurang tepat. Pasalnya, biaya isi ulang itu bakal membebani masyarakat.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News