Burung Unta

Burung Unta
Luhut Panjaitan (berdiri). Foto: Ricardo/JPNN.com

Namun, burung unta tidak bisa memaksimalkan potensinya untuk menyelesaikan masalah.

Sebaliknya, dia memilih tutup mata dan memasukkan kepala ke pasir sambil berpikir masalah sudah berlalu.

Sikapnya itu membawa akibat fatal, karena badannya yang besar akan mudah disantap predator.

Politik burung unta ini beberapa kali terjadi selama pandemi. Untuk membuat ketenangan diciptakanlah sebuah kondisi yang seolah-olah tenang. Suasana tenang itu adalah konstruksi yang dibangun berdasarkan realitas yang semu.

Berita-berita media yang melaporkan perkembangan pandemi secara objektif, dianggap sebagai sumber kepanikan. Media pun dituding sebagai penyebar berita palsu atau hoaks.

Karena itu kemudian muncul gerakan memboikot media dan menganjurkan masyarakat untuk tidak membaca media. Dengan begitu masyarakat bisa menjadi lebih tenang.

Ini bukti konkret politik burung unta. Pemberitaan media mungkin tidak bisa seratus persen akurat. Namun, media mainstream punya fungsi untuk menjadi ‘’early warning system’’, sistem peringatan dini, dengan memberitakan perkembangan situasi secara objektif.

Memboikot media sama saja dengan menutup mata dan memasukkan kepala ke dalam pasir.

Embusan angka kenaikan ekonomi 7 persen itu adalah embusan angin sorga. Sama dengan politik burung unta.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News