Cara Berpikir Rancu di Kurikulum Baru

Cara Berpikir Rancu di Kurikulum Baru
Mohammad Abduhzen. Foto: M Fathra Nazrul Islam/JPNN
Harusnya UN tidak ada. Karena pembelajaran termatik dan integratif, itu memang ada kornya ya. Nanti misalnya saya mengajarkan IPA tentang makhluk hidup tema-nya, ketika saya mendiskusikan tentang makhluk hidup ini, itu kan akan berkembang berbagai respon dalam partisipasi siswa itu. Nah kadang-kadang waktu yang sudah kita tetapkan 1 jam atau 90 menit pelajaran akan terlampaui dan mungkin target-target minimal yang ada di kurikulum sudah tercapai, tapi kan makan waktu yang tidak terbatas.

Maksdudnya pembelajaran tematik dan integratif memerlukan kelenturan, fleksibilitas yang tinggi, sehingga susah untuk mencapai target-target yang secara pasti kita rumuskan, dia akan lebih kaya dengan pengembangan nalar, pengembangan sikap. Tetapi aspek kognitif dalam artian penumpukan data-data pengetahuan dalam memorinya tidak tercapai.

Kalau kurikulum dengan model tematik integratif tetap dipaksakan, apakah guru-guru siap diubah dari cara mengajar seperti ritual menjadi lebih lentur?

Ya itu, mengubah itu memerlukan waktu dan pelatihan yang tepat. Tapi kalau pelatihannya tidak tepat, perubahan itu hampir tidak terjadi. Itu tidak akan mengubah apa-apa. Jadi kalau dalam istilah psikologi, itu ada efek Aha-nya, Aha itu, Ooo begitu, nah itu. Dia (guru) menemukan dirinya, menemukan kesadaran baru. Itu pelatihan yang harus dibuat dan dilakukan. Menurut saya itu tidak mudah dan butuh waktu lama, paling tidak sekitar dua tahun.***


PEMERINTAH yakin dengan mengubah kurikulum mampu mengubah generasi bangsa. Makanya, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) ngotot kurikulum


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News