Catat, Ini Sebab Banyak Gugatan Pilkada Rontok di MK

Catat, Ini Sebab Banyak Gugatan Pilkada Rontok di MK
Polisi berjaga di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (13/6), jelang digelarnya sidang sengketa hasil Pilpres 2019, Jumat (14/6). Foto : Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Direktur HICON Law & Policy Strategies Hifdzil Alim menilai banyak penggugat hasil pilkada mengabaikan ambang batas selisih suara sebagai syarat mengajukan gugatan perselisihan hasil pemilihan (PHP) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Menurutnya, ambang batas tersebut tercantum pada Pasal 158 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.

"Jadi, banyak yang mengabaikan acuan Pasal 158 ayat 1 dan 2, bahkan ada yang menganggapnya  sudah dihapuskan," ujar Hifdzil dalam keterangannya, Rabu (24/2).

Hifdzil merupakan kuasa hukum Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) untuk 11 sengketa hasil Pilkada 2020 yang tengah berproses di MK.

Sejauh ini Hifdzil telah berhasil memenangkan 10 perkara kliennya, yakni KPU Bulukumba, KPU Luwu Utara, KPU Rembang, KPU Barru, KPU Luwu Timur, KPU Mamuju, KPU Tapanuli Selatan, KPU Kutai Kartanegara, KPU Kotabaru dan KPU Raja Ampat.

Menurut Hifdzil, dirinya menggunakan Pasal 158 untuk mematahkan gugatan pilkada. "Dalam putusan MK pada PHP pilkada, Pasal 158 tetap diterapkan secara kasuistis. Artinya, Pasal 158 tetap urgen didalilkan," ucapnya.

Lebih lanjut Hifdzil memerinci ketentuan  Pasal 158 ayat 1 dan 2 UU 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Menurut ketentuan itu,  selisih paling banyak untuk dapat menggugat hasil pemilihan gubernur di provinsi dengan jumlah penduduk sampai 2 juta jiwa ialah 2 persen dari total suara.

Kemudian untuk provinsi dengan jumlah penduduk 2 juta-6 juta jiwa, gugatan pilkada bisa diajukan jika selisih perolehannya tidak melebihi 1,5 persen dari total suara sah.

MK telah menolak 100 permohonan perselisihan hasil pilkada. Saat ini tinggal 32 perkara yang bergulir di MK.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News