Sepertinya MK Jadi Mahkamah Kalkulator

Sepertinya MK Jadi Mahkamah Kalkulator
Mahkamah Konstitusi. Foto: dokumen JPNN.Com

jpnn.com, JAKARTA - Pemerhati hukum tata negara Feri Amsari menilai Mahkamah Konstitusi (MK) hanya mengedepankan hitung-hitungan perolehan suara dalam mengadili perkara sengketa hasil Pilkada 2020.

Akademisi Universitas Andalas itu menganggap MK telah menjadi mahkamah kalkulator yang hanya mengacu Pasal 158 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

Ketentuan itu mengatur batas maksimal persentase selisih perolehan suara antar-calon di pemilihan gubernur, bupati ataupun wali kota.

"Masih mengutamakan pendekatan hitung-hitungan bukan membaca dan memahami secara subtansi apakah telah terjadi pelanggaran pelanggaran pemilu yang membuat jarak selisih sangat jauh," ujarnya, Kamis (18/2), merespons keputusan MK menolak mayoritas permohonan sengketa hasil Pilkada 2020.

Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) itu menambahkan, dampak dari penggunaan ketentuan itu ialah mendorong peserta pilkada melakukan kecurangan secara sistematis dan masif demi memperoleh selisih suara besar.

"Bukan tidak mungkin pelaku kecurangan dalam pilkada akan melakukan kecurangan yang sungguh masif dan terstruktur agar jaraknya jauh, dengan demikian MK akan memutuskan bahwa perkara itu tidak akan lanjut," tutur Feri.

Oleh karena itu Feri mendorong pemerintah dan DPR merevisi ketentuan dalam UU Pilkada itu. Alasannya, ketentuan itu akan memperbesar peluang  terjadinya kecurangan dalam pesta demokrasi tersebut.

"Konsekuansi Pasal 158 (UU Pilkada) dipertahankan  tentu saja semangat kecurangan makin besar terjadi dalam sistem pilkada kita," ulasnya.

Feri Amsari menilai Mahkamah Konstitusi (MK) hanya mengedepankan hitung-hitungan perolehan suara dalam mengadili perkara sengketa hasil Pilkada 2020.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News