Cerdas Tapi Tidak Mencerdaskan

Cerdas Tapi Tidak Mencerdaskan
Cerdas Tapi Tidak Mencerdaskan
Kampanye PEMILU 2009 yang dimobilisasi, dan bukan partisipasi, sebentar lagi tinggal kenangan. Tidak ada lagi arus lalulintas yang macet dan menjengkelkan. Kadang panggung hiburan pun menjadi ajang perkelahian dan goyang seronok penyanyi  justru disaksikan anak-anak di bawah umur. Tapi begitu lagu pop atau dangdut usai, orasi para politikus ditinggalkan mereka tadi yang heboh berjoget.

Kita berhak kecewa karena gaya kampanye Pemilu 1999, 2004 dan 2009 masih belum beranjak ke forum dialogis. Agak susah untuk membedakan mana yang menjual program dan mana yang menjual janji. Belum lagi yang menyindir dan mengiritik rival dan pesaingnya, kadang terdengar mirip menyerang pribadi.  Salahkah yang dilakukan sejumlah partai itu? Toh sudah telanjur. Lagi pula menyesali apa yang justru disukai rakyat, misalnya panggung hiburan itu, keterlaluan juga. Bolehlah sekali lima tahun bergoyang-ria, dan apalagi ada dana transpor, minuman mineral gratis hingga nasi bungkus.

Jika hendak dikriteriakan ada kampanye yang bergaya entertainment yang maunya enak dipandang mata dan didengar telinga. Namun ada juga yang mengarah kepada pencerdasan bangsa, walau minoritas dan baru aromanya saja dan kehadirannya belum dominan dalam Pemilu 2009.

Pola entertainment agaknya setara dengan budaya pop, diwarnai musik rock, yang ditandai dengan juru kampanye bersorak sorai di atas panggung. Lalu, disambut deruman sepeda motor ketika konvoi massa partai di jalan raya. Ada juga yang pop, karena bahkan SBY, Mega, Tifatul Sembiring pun tak luput menyanyi di pentas kampanye.

Kampanye PEMILU 2009 yang dimobilisasi, dan bukan partisipasi, sebentar lagi tinggal kenangan. Tidak ada lagi arus lalulintas yang macet dan menjengkelkan.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News