Dasamuka Jawa

Dasamuka Jawa
Dahlan Iskan. Foto: Ricardo/JPNN.com

Pengikut Diponegoro lari meninggalkan Jogja. Penduduk Jogja digambarkan tinggal separonya.

Saya sendiri mendapat tambahan cerita dari mulut ke mulut. Dari satu generasi ke keturunan berikutnya. Ketika tokoh-tokoh pengikut Diponegoro itu melarikan diri ke arah timur. Ke Pacitan. Ke Ponorogo. Ke Sewulan, Madiun. Ke Magetan dan seterusnya.

Menurut cerita keluarga kami, Perang Diponegoro adalah juga pemberontakan penganut Tarekat Syatariyah.

Semua pesantren yang menganut aliran itu bergerak serentak melawan Belanda. Karena itu, di perang itu, Pangeran Diponegoro mengenakan pakaian ulama. Begitu juga pengikutnya. Bukan pakaian Jawa. Atau pakaian kesultanan. Atau pakaian panglima perang. Entahlah.

Novel ini menarik justru karena tidak bercerita soal perang itu sendiri. Tema novel ini justru pada apa yang terjadi selama sepuluh tahun sebelum perang itu pecah. Untuk meminjam istilah PKI menjelang meletusnya G30S, novel ini justru menggambarkan masa hamil tuanya. Bahkan sejak hamil mudanya. Pun sejak penyebab kehamilan itu.

Pecahnya perang itu sendiri hanya disertakan sebagai catatan sangat pendek di halaman terakhir. Yakni di adegan ketika William, ilmuwan Skotlandia, sudah berada di dermaga pelabuhan Semarang. Ia sudah siap naik kapal menuju Batavia untuk selanjutnya kembali ke Skotlandia.

Di dermaga itu William menjadi orang terakhir yang naik kapal. Ia masih menunggu kedatangan sahabatnya yang berjanji akan mengucapkan selamat jalan di pelabuhan.

Si teman ternyata hanya mengutus seseorang berpakaian santri. Yang datang terlambat dan tergesa-gesa. Si utusan minta maaf. Teman baik William tidak bisa mengantar ke pelabuhan karena perang melawan Belanda harus segera dimulai.

Ketika Perang Diponegoro pecah, William sudah berada di Skotlandia. Kalau tidak, mungkin ia sudah ditangkap Belanda.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News