Digital Footprint Para Penebar Hoax

Oleh Rhenald Kasali*

Digital Footprint Para Penebar Hoax
Rhenald Kasali. Foto: dokumen JPNN.Com

Sewaktu saya tanyakan kepada CEO bak asing tersebut, mengapa dulu dia menolak pengajuan kredit orang itu, rekan saya menjawab pendek, "Orang itu memang tidak bisa dipercaya."

Tahu dari mana? Credit score memang bukanlah hal yang baru bagi perbankan. Tapi, kini bank punya cara yang lebih jitu mempelajari jejak tapak digital calon-calon nasabahnya yang bermasalah.

Di Tiongkok, hari-hari ini masyarakat sedang mendiskusikan tentang social scoring yang bukan sekadar mencatat angka. Melainkan juga segala digital footprint masyarakat. Data itu ditangkap melalui CCTV, websites, GPS, data keuangan, kesehatan, sampai belanja, dan konsumsi yang kita lakukan.

Jadi, setiap digital footprint pasti masuk ke score kita. Orang yang sering konsumsi alkohol, terlibat hukum, menyebarkan hoax dan seterusnya akan punya akibat sendiri.

Mereka yang social score-nya tinggi bisa mendapatkan banyak kemudahan, semisal diterima di perguruan tinggi atau mendapat seat untuk nonton. Sementara yang social score-nya rendah, sebaliknya.

Digital Footprint

Sewaktu seorang mantan pejabat kehilangan HP-nya di bandara, saya dengan cepat mengatakan, pasti ketemu. Tak perlu sampai 24 jam. Dan benar saja, malam harinya pengambil ponsel sudah ditemukan di Jakarta Timur.

Kok bisa? Harap Anda maklum di Bandara Soekarno-Hatta, hampir tak ada tempat yang tak terpantau sensor digital dan kamera CCTV. Dengan bantuan petugas aviation security Angkasa Pura (AP) II, polisi menjadi lebih mudah menelusuri jejak-jejak digital pelaku kejahatan.

Saya jadi mengerti mengapa mereka melakukan tekanan-tekanan pada pemerintah, mempersoalkan infrastruktur dan utang BUMN. Rupanya, ada saham di belakangnya.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News