Disandera Prosedur Legal Formal

Disandera Prosedur Legal Formal
Disandera Prosedur Legal Formal
MISALKAN Mahkamah Agung (MA) mengkorting hukuman seorang pembunuh yang dipenjarakan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) di Riau atau Sulawesi Selatan dalam putusan kasasinya. Tetapi walaupun ternyata masa hukumannya berakhir pada hari putusan kasasi MA itu ditetapkan di Jakarta, ia tak serta-merta bisa bebas. Padahal, putusan itu sudah berkekuatan hukum tetap, dan seyogyanya kejaksaan melaksanakan eksekusinya, karena si pembunuh telah menjalani hukumannya sesuai putusan pengadilan, dan terakhir masa hukuman itu dikoreksi MA di tingkat kasasi.

Kepala LP yang jauh dari Jakarta itu tak berani membebaskan si narapidana karena belum menerima salinan putusan MA itu dari kejaksaan selaku eksekutor. Tapi kejaksaan pun tak bisa mengeksekusinya karena belum menerima salinan putusan kasasi di tingkat MA. Kapan si narapidana itu bisa bebas?

Kejaksaan masih harus menunggu salinan putusan itu dari MA di Jakarta. Biasanya butuh beberapa waktu, jika spontan dikerjakan, dan bisa menjadi lama bila masih ditunda-tunda. Tak heran jika si narapidana tetap di berada di LP, misalnya, sampai sebulan atau lebih, meskipun tanpa dasar hukum. Hak asasinya telah dirampas oleh negara. Tapi ia tak berdaya. Pihak LP, kejaksaan dan MA pun tak mau disalahkan dan saling cuci tangan.

Kasus-kasus yang mengkultuskan prosedur legal formal inilah sekarang yang juga membelit Bibit dan Chandra, walau tak sama persis dengan contoh kasus di atas. Walaupun Tim 8 telah merekomendasikan kasus mereka tak layak diajukan ke meja hijau, dan Presiden Yudhohyono pun telah meminta kasus itu tidak bergulir ke pengadilan, tetapi kepolisian dan kejaksaan masih repot dengan urusan prosedur legal formal tersebut.

MISALKAN Mahkamah Agung (MA) mengkorting hukuman seorang pembunuh yang dipenjarakan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) di Riau atau Sulawesi Selatan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News