Fajar Sadboy & Pengemis Digital

Oleh Dhimam Abror Djuraid

Fajar Sadboy & Pengemis Digital
Seorang ibu warga Desa Setanggor, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), yang mandi lumpur untuk mengisi konten live di TikTok demi menghasilkan donasi digital. Foto: TikTok/ @intan_komalasari92

Dalam satu kali live selama 30 menit, mereka bisa mengantongi Rp 2 juta. Itulah tren digitalisasi yang menciptakan hiburan dengan mengeksploitasi kemiskinan.

Ada juga hiburan digital yang mengeksploitasi kesedihan. Sekarang seorang remaja Gorontalo bernama Fajar Labatjo sangat populer dengan sebutan Fajar Sadboy.

Dia menarik perhatian jutaan penggemar karena tampil sedih dan suka menangis setiap kali berbicara. Penyebabnya ialah  dia putus cinta lalu ditinggal pergi oleh pacarnya.

Tampilan Fajar yang memelas dan selalu terlihat menangis menarik iba netizen. Namun, netizen juga terhibur oleh tampang sedih Fajar.

Eksploitasi kemiskinan dan kesedihan ini menjadi hiburan yang sekaligus menghasilkan banyak uang. Fajar Sadboy menjadi bintang televisi dan diundang untuk tampil sebagai bintang tamu oleh banyak YouTuber terkemuka.

Bukan hanya terlihat sedih, Fajar juga tampak bodoh dan sering memberikan jawaban yang tidak menyambung dengan pertanyaan. Contohnya ialah ketika ditanya mengenai siapa anak tertua di dalam keluarganya.

Fajar justru menjawab yang paling tua di ialah bapaknya. Jawaban yang terlihat bodoh itu  menjadi viral karena menghibur.

Fajar yang baru berusia 15 tahun terlihat terlalu cepat dewasa dibanding umurnya. Dia berpacaran dan putus cinta, kemudian sempat bunuh diri.

Fenomena mandi lumpur di platform digital adalah produk disrupsi digital. Mengemis dan mengeksploitasi kemiskinan bukan lagi aib, tetapi menjadi hiburan.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News