Gaya Lama Cerita Baru

Gaya Lama Cerita Baru
Gaya Lama Cerita Baru

jpnn.com - PEKAN ini, hape saya berkali-kali dikontak kawan-kawan pimpinan media cetak di ibu kota. Ada yang BBM, SMS atau via telepon langsung. Mereka hanya ingin sekadar ngerumpi soal gaya Menteri Negara BUMN Dahlan Iskan, yang belakangan menjadi hot topic. Dari soal antre beli tiket KRL, berdesak-desakan di KRL, naik ojek ke Istana Bogor, sampai urusan makan Soto di warung sederhana di stasiun.

Juga soal sikapnya yang keras melawan mafia yang mengganggu tol PT Jasa Marga. ’’Eh, katanya si bos habis ditegur ya?’’ pancing kawan itu. Jawaban saya standar saja, ’’Wong Pak Dahlan kok ditegur? Apalagi soal gaya kepemimpinan yang neko-neko? Ah, itu tidak mungkin. Kalau pun iya, itu namanya kurang kerjaan dan tidak paham siapa beliau.

Nggak ada untungnya! Zaman sekarang kok sibuk batas membatasi kreativitas orang lain? Capek deh.’’ Oh ya, siapa yang menegur? ’’Soalnya pamor dan berita Meneg BUMN lebih menarik jurnalis daripada pokok-pokok bahasan dalam sidang kabinet. Bahkan lebih memikat daripada solusi-solusi yang dibahas dalam rapat kabinet itu,’’ begitu kelakarnya, tanpa mau menjawab siapa yang terganggu oleh leadership model Dahlan Iskan itu. Kalau begitu masalahnya, ya tidak perlu dibahas, begitu jawabku. Biarkan saja, toh bukan sesuatu yang substansial. Seperti judul tulisan ini ’’Gaya Lama Cerita Baru.’’ Buat kawan-kawan di Jawa Pos Group, gaya freestyle itu sudah lebih dari 20 tahun lalu dilakukan Dahlan Iskan. Freestyle atau gaya bebas, tidak beraturan, tidak berbentuk, tidak berpola, mirip amuba, ’’liar’’ tetapi punya disiplin goal atau tujuan sangat tegas. Makin ekstrem, makin kreatif, menemukan banyak inovasi baru, dia semakin apresiatif.

Lama hidup berada dalam ekosistem jurnalis yang ’’bebas berpikir, bebas bertindak, bebas beraplikasi’’, egaliter, to the point, tidak berbelit, apa adanya, seperti itu, bisa jadi membuat kagok pada mereka yang lama berada dalam atmosfer birokrasi. Suasana yang 180 derajat beda! Apalagi, birokrat yang basic-nya bukan berlatar belakang pengusaha. Karena itu, celometan-celometan kecil, yang bernada tidak nyaman atas gaya Meneg BUMN itu, sangat bisa dimengerti.

Tetapi, ada juga yang latah, bahwa cara-cara itu dianggap sebagai ’’pencitraan’’ belaka! Saya baca di milis, facebook, twitter, ada juga seperti itu meskipun jumlahnya sangat tipis dibandingkan dengan mereka yang memuji langkah berani itu. Saya sarankan, --yang masih berpikir begitu---, baca buku ’’Dua Tangis dan Ribuan Tawa’’ yang diterbitkan Kelompok Kompas Gramedia, PT Elex Media Komputindo. Buku yang diluncurkan bulan November 2011, dan sebulan sudah tiga kali cetak ulang. Sekarang, Desember 2011 sudah cetakan keempat.

Saya pernah mendampingi Meneg BUMN berdiskusi dengan tim penulis buku itu, bulan November 2011 lalu, di kantor Kompas Gramedia, di Palmerah, Jaksel. Mereka sangat antusias dan menemukan banyak titik angle yang tidak saja menarik, tetapi juga bermanfaat buat sejarah perjalanan bangsa ini. Karena itu, mereka akan menerbitkan beberapa edisi buku Dahlan Iskan lagi. Bahkan ada kata-kata yang lucu juga.

’’Pak Dahlan, jangan diteruskan dulu dong! Membuat keputusan-keputusan unik di semua BUMN itu. Kami ingin menempatkan hidden camera, untuk mengabadikan itu semua langkah Pak Menteri, sebagai karya jurnalistik!’’ harap salah seorang di antaranya, begitu mendengar sudah lebih dari 60 BUMN yang sudah ditangani dengan cara cepat dan khas. Bukan hanya itu.

Saya dengar, Rhenald Kasali, guru besar Fakultas Ekonomi UI, sedang mencarikan teori-teori untuk memotret gaya kepemimpinan Dahlan Iskan, sejak Dirut PLN hingga Meneg BUMN. Kalau selama ini analis kampus itu mengupas teori dengan memotret implementasi lapangan. Kali ini, mereka akan mencari teori yang bisa menjelaskan fakta-fakta lapangan yang sedemikan akrobatik.

PEKAN ini, hape saya berkali-kali dikontak kawan-kawan pimpinan media cetak di ibu kota. Ada yang BBM, SMS atau via telepon langsung. Mereka hanya

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News