Gizjeling Jangan Hanya Wacana

Tagih Obligor Kasus BLBI

Gizjeling Jangan Hanya Wacana
Gizjeling Jangan Hanya Wacana
JAKARTA – Rencana pemerintah untuk memperlancar penagihan kewajiban para obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan menerapkan paksa badan atau gizjeling masih diragukan. Pasalnya, rencana tersebut juga pernah digulirkan beberapa tahun lalu.

    ”Bagus saja (rencana paksa badan). Tapi lebih bagus lagi kalau dilaksanakan,” kata Denny Indrayana, Ketua Pusat Studi Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Jogjakarta. Menurut dia, rencana yang sama pernah diungkapkan pemerintah sekitar tiga tahun lalu. ”Sampai sekarang mana faktanya,” imbuhnya.

    Denny mengungkapkan, gizjeling merupakan salah satu alternatif yang bisa dilakukan untuk memaksa pembayaran kewajiban dari para obligor nonkooperatif. Namun dia menyayangkan kalau hal itu hanya menjadi wacana pemerintah. ”Publik bisa mulai hilang kepercayaan karena (rencana paksa badan) sudah terlalu lama disebut,” tegasnya.

    Seperti diketahui, Menteri Keuangan, Jaksa Agung, dan Kapolri tengah merumuskan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang paksa badan atau gijzeling terhadap obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang tak kooperatif. Langkah ini dilakukan untuk memperlancar penagihan kewajiban obligor yang ditangani Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) Departemen Keuangan.    SKB tersebut ditarget selesai bulan depan.

    Total ada 24 obligor yang akan ditagih kewajibannya. Mereka ditangani Depkeu, Polri, dan Kejagung masing-masing delapan obligor. Delapan obligor yang ditangani Depkeu saat ini dengan tagihan senilai Rp 2,297 triliun sudah masuk ke mekanisme PUPN. Sedangkan delapan obligor limpahan dari Polri masih akan diputuskan versi tagihan yang berbeda antara pemerintah dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sedangkan delapan obligor limpahan dari Kejaksaan Agung, masih baru akan dihitung jumlah tagihannya.

     Delapan obligor yang sejak awal ditangani Depkeu adalah James dan James dan Adisaputra Januardy (Bank Namura Internusa), Atang Latief (Bank Indonesia Raya), dan Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian). Lalu, Oemar Puttiray (Bank Tamara), Lidia Mochtar (Bank Tamara), Marimutu Sinivasan (Bank Putra Multi Karsa) dan Agus Anwar (Bank Pelita dan Bank Istimarat).

        Lalu, yang semula ditangani Polri adalah Bank Metropolitan (Santoso Sumali); Bank Putra Surya Perkasa (Trijono Gondokusumo); Bank Namura (Baringin Panggabean dan Joseph Januardy); Bank Intan (Fadel Muhamad), dan Bank Bahari (Santoso Sumali). Lalu, Bank Tata (Henky Wijaya); Bank Umum Servitia (David Nusa Wijaya dan Tarunodjojo); serta Bank Aken yang dimiliki I Made Sudiarta dan I Gde Darmawan.

        Sedangkan yang semual ditangani Kejaksaan Agung adalah Bank ASPAC dengan pemegang saham Setiawan Harjono dan Hendrawan Harjono; Bank DEKA (Dewanto Kurniawan, Royanto Kurniawan, Leo Polisa, dan Rasjim Wiraatmadja); serta Bank Central Dagang (Hindarto Tantular dan Anton Tantular). Juga, Bank Centris (Andri Tedjadharma, Prasetyo Utomo, dan Paul B Silalahi), Bank Orient yang dimiliki Kwan Benny Ahadi; Bank Dewa Rutji (Syamsul Nursalim), Bank Arya Panduartha (Kaharudin Ongko), dan Bank Dharmala (Sujanto Gondokusumo).

JAKARTA – Rencana pemerintah untuk memperlancar penagihan kewajiban para obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan menerapkan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News