Gubernur NTT jadi Terlapor di KPK Dalam Kasus Dugaan Korupsi Pantai Pede

Gubernur NTT jadi Terlapor di KPK Dalam Kasus Dugaan Korupsi Pantai Pede
KPK

“Indikasi kongkalikong dalam perjanjiaan itu makin kentara dengan tidak dimasukkannya sama sekali UU No. 8 Tahun 2003 sebagai bahan pertimbangan dalam dokumen perjanjian kerja sama dengan PT SIM,” kata Arrio.

Lebih lanjut, Arrio menilai PT SIM termasuk masih baru dalam bisnis kepariwisataan, berhubung didirikan dan disahkan sebagai perusahaan yang berbadan hukum pada tahun 2011. Karena itu, perusahan itu, harusnya dipandang belum memiliki jam terbang memadai dalam mengelola barang milik daerah untuk kawasan wisata Labuan Bajo yang bertaraf internasional.

“Tidak ada keterbukaan dari Lebu Raya tentang mekanisme perjanjian ke tangan PT SIM, apakah melalui penunjukan langsung atau melalui mekanisme tender, karena PP No 27 Tahun 2014 mengharuskan mekanisme tender,” katanya.

Dalam kontrak dengan PT SIM, Lebu Raya masih menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) No 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah, yang sudah dibatalkan berlakunya, tetapi masih tetap dijadikan landasan dalam pembuatan perjanjian kerja sama. Sementara PP No. 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah, tertanggal 24 April 2014, sebagai PP yang menggantikannya tidak dijadikan dasar pertimbangan.
Frans Lebu Raya, juga menggaransi PT SIM bahwa lahan Pantai Pede tidak dalam sengketa dan bebas dari tuntutan hukum pihak manapun. Padahal, Lebu Raya sadar dan tahu bahwa masyarakat dan Pemda Mabar sejak Bupatinya Fidelis Pranda pada tahun 2003 tetap menuntut penyerahan Sertifikat Hak Pakai (SHP) yang dikuasai oleh Gubernur NTT.

Menurutnya, tidak ada klarifikasi tentang perubahan atau penerbitan Sertifikat Hak Pakai/SHP baru dari semula SHP No. 10 dan 11 menjadi SHP No. 3 dan 4 yang dilakukan oleh Gubernur NTT Frans Lebu Raya pada tahun 2012 dengan alasan SHP No. 10 dan SHP No.11 hilang.

PT SIM diizinkan untuk mengubah sertifikat Hak Pakai No.3 dan No.4 yang menjadi sertifikat Hak Guna Bangunan. Selanjutnya sertifikat HGB tersebut dijaminkan kepada lembaga keuangan di Bank. Padahal, PP Nomor 27 Tahun 2014 melarang pihak pengelola menjaminkan obyek yang disewa untuk dijadikan jaminan hutang.

“Tidak adanya penjelasan atau penegasan di dalam perjanjian, apakah telah ada persetujuan DPRD atau tidak dan beban biaya terkait pengurusan ijin-ijin dan lain-lain menjadi beban pihak siapa. Padahal di dalam PP No. 50 tahun 2007, persoalan beban biaya dan persetujuan DPRD mutlak diperlukan karena menyangkut aset daerah yang dijadikan obyek perjanjian,” ujarnya.

Dalam perjanjian, pembayaran uang kontribusi dari PT. SIM dimasukkan melalui Rekening Gubernur NTT Frans Lebu Raya pada Bank NTT Nomor: 001.01.02.001018-7/G. Padahal, ketentuan Undang-Undang mengharuskan pembayarannya itu melalui rekening kas umum daerah.
Dengan mengacu pada poin-poin kejanggalan tersebut, AMANG menilai, ada dugaan kuat para terlapor melakukan tindak pidana korupsi sesuai dengan pasal 2 dan/atau pasal 3 UU Tipikor. Karena itu, sangat beralasan untuk dilakukan penyelidikan dan penyidikan oleh KPK.

Para mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Manggarai (AMANG) mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Selasa, 16 Mei 2017 untuk

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News