Kanjuruhan Mangindaan

Oleh: Dahlan Iskan

Kanjuruhan Mangindaan
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

Zaman teknologi ini seharusnya lebih mudah. Tidak perlu lagi ada loket karcis di stadion. Pembelian tiket dilakukan pakai aplikasi.

Jumlah penonton sudah diketahui sehari sebelum pertandingan. Bahkan tren ramai-tidaknya penjualan karcis sudah diketahui lima hari sebelumnya. Dengan demikian kirka (perkiraan keadaan) bisa dibaca lebih dini.

Sistem gelang juga membantu banyak. Polisi sudah bisa tahu siapa yang pakai gelang dan tidak. Yang pakai gelang adalah yang berhak masuk kompleks stadion.

Seleksi pertama bisa dilakukan jauh di luar stadion. Di jalan masuk menuju stadion. Polisi tidak perlu memeriksa. Cukup melirik lengan mereka: bergelang atau tidak.

Dengan demikian tidak ada lagi penonton tanpa karcis yang bergerombol di luar stadion. Mereka ini yang berpotensi menjebol stadion dan juga menyumbat pintu keluar/masuk stadion.

Peristiwa Bonek tiga minggu lalu tidak akan terjadi kalau pertandingannya di Surabaya. Di Stadion Gelora Bung Tomo. Hari itu stadion lagi dipakai pertandingan tim nasional.

Persebaya vs Rans United FC pun dipindah ke Sidoarjo. Penonton tak bergelang tidak bisa diseleksi jauh di luar stadion. Kalau dilakukan itu akan memacetkan jalan umum.

Maka yang tidak bergelang pun bisa mendekat stadion. Mereka itulah yang akhirnya berhasil masuk stadion sebelum setengah main.

Tragedi Kanjuruhan. Satu-satunya bahasa yang harus digunakan di lapangan bola adalah bahasa bola. Jangan yang lain, apalagi gas air mata.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News