Keluarga Soeharto Bicara soal Gelar Kepahlawanan
Yang Ingin Pak Harto Jatuh Tetap Tak Bisa Gantikan
Jumat, 22 Oktober 2010 – 07:07 WIB
Sisa kejayaan Soeharto yang meninggal pada Minggu Wage 27 Januari 2008 itu pun masih tampak di Dalem Kalitan. Potret besar jenderal berbintang lima tersebut terpampang di ruang utama. Letaknya persis di belakang tempat Probosutedjo duduk. Ada untaian melati di foto itu.
Probosutedjo yang pernah menjadi terpidana korupsi dana reboisasi hutan tanaman industri (HTI) tersebut menyatakan menyempatkan diri untuk menghadiri acara nyewu (peringatan seribu hari) meninggalnya Pak Harto. "Dalam Islam, nyewu itu tidak ada. Namun, di kultur Jawa, nyewu itu penting," kata pria kelahiran 1 Mei 1930 tersebut.
Peringatan itu, ujar dia, sejatinya adalah doa-doa bagi orang yang meninggal. Sejak Pak Harto meninggal, kata Probo, doa-doa dari keluarga seakan tak pernah putus. Mulai tiga hari, tujuh hari, 40 hari, 100 hari, pendhak pisan (setahun), pendhak pindho (dua tahun), hingga nyewu yang jatuh kemarin, Kamis Pahing 21 Oktober.
Karena itu, acara nyewu tersebut sangat spesial. Setidaknya, lima tempat mengadakan tradisi itu. Yakni, makam Pak Harto di Astana Giribangun; Masjid At-Tin Jakarta; tempat lahir Pak Harto di Kemusuk, Jogjakarta; tempat memendam ari-ari Ibu Tien di Jaten, Karanganyar; serta di Dalem Kalitan.
Masyarakat Indonesia boleh berpolemik soal layak tidaknya mantan Presiden Soeharto menyandang gelar pahlawan nasional. Tapi, bagi keluarganya, kelayakan
BERITA TERKAIT
- Ninis Kesuma Adriani, Srikandi BUMN Inspiratif di Balik Ketahanan Pangan Nasional
- Dulu Penerjemah Bahasa, kini Jadi Pengusaha Berkat PTFI
- Mengintip Pasar Apung di KCBN Muaro Jambi, Perempuan Pelaku Utama, Mayoritas Sarjana
- Tony Wenas, Antara Misi di Freeport dan Jiwa Rock
- Hujan & Petir Tak Patahkan Semangat Polri Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Wilayah Terluar Dumai
- Tentang Nusakambangan, Pulau yang Diusulkan Ganjar Jadi Pembuangan Koruptor