Keris Jaka Piturun dan Demokrasi ala Jogja

Keris Jaka Piturun dan Demokrasi ala Jogja
Foto. Radar Jogja/Dok.JPPhoto
MENGAPA raja Jogja disebut sultan dan tidak disebut sunan? Itu, kata GBPH (Gusti Bendoro Pangeran Haryo) Joyokusumo, ada sejarah tersendiri. Adik Sri Sultan Hamengku Buwono X itu kepada Jawa Pos menceritakan, sebutan sultan lebih dipilih oleh Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) I ketika naik takhta.

Gelar sultan dipilih, lanjut dia, karena lebih memiliki ciri komunikasi lahiriah (duniawi). Berbeda dengan sunan yang lebih dekat dengan komunikasi makhluk dan penciptanya. "Keputusan ini kan juga penghargaan terhadap pluralisme. Nah, bukankah pluralisme itu adalah salah satu substansi dari demokrasi?" katanya. "Karena itu, saya membantah keras kalau ada yang menyebut di keraton ini tidak diterapkan prinsip-prinsip demokrasi," imbuhnya.

Semangat menerapkan nilai-nilai demokrasi di keraton juga tecermin saat kepemimpinan dipegang HB IX. Saat itu dia melakukan pembaruan sistem politik pemerintahan kesultanan yang cukup drastis.

Diceritakan, menjelang wafat, sang raja (HB IX) tidak meniru para pendahulunya dalam menentukan siapa yang menjadi penerus takhta. Biasanya, penerus takhta ditunjuk langsung oleh sang raja dengan diberikannya keris Jaka Piturun. Keris itu adalah tanda ahli waris takhta. Tetapi, cara seperti itu tidak dilakukan HB IX. Hingga HB IX wafat, tidak ada satu pun keturunannya yang diberi keris tersebut. 

MENGAPA raja Jogja disebut sultan dan tidak disebut sunan? Itu, kata GBPH (Gusti Bendoro Pangeran Haryo) Joyokusumo, ada sejarah tersendiri. Adik

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News