Mengapa Kursi Itu Panas Membara?

Oleh Dahlan Iskan

Mengapa Kursi Itu Panas Membara?
Mengapa Kursi Itu Panas Membara?

Disatukan dalam satu perusahaan. Lalu, nilai saham-saham itu dijadikan agunan untuk mencari uang. Uangnya bisa dipakai membangun infrastruktur.

Ide seperti itu setidaknya bisa membuat saham yang tidak berarti itu menjadi saham hidup. Bukan saham yang hanya kelihatan angkanya.

Tapi, memperjuangkan ide tersebut juga tidak mudah. Tepatnya: sulit. Saham itu bukan milik BUMN. Tapi milik negara. Untuk membicarakannya, harus memutari labirin birokrasi. Saya merasa gagal memperjuangkan ide tersebut. Tapi, dengan iklim pemerintahan sekarang, mestinya bisa dicoba lagi.

Cara itu penting karena, rasanya, sampai berakhirnya kontrak FI tahun 2021 nanti, sulit mengharapkan bisa dapat setoran dividen dari FI.

Kondisi FI memang benar-benar sulit. Apalagi setelah tahun 2013 lalu membeli perusahaan minyak Plains Company yang produksinya 300 ribu barel per hari (bukan 300 juta seperti tulisan saya minggu lalu). Sejak jatuhnya harga tembaga, Freeport terhuyung-huyung. Dengan jatuhnya harga minyak, Freeport terjungkal.

Mau diapakan FI?

Sulit. Sulit sekali. Terutama karena ini: adanya peraturan yang menyulitkan banyak pihak. Menurut peraturan itu, pemerintah baru boleh membicarakan kontrak FI dua tahun sebelum kontrak berakhir. Berarti tahun 2019. Baru boleh membicarakan.

Saya tidak tahu mengapa batas itu dua tahun. Mengapa tidak lima tahun? Atau empat tahun? Apa latar belakangnya? Bagaimana asbabun nuzulnya?

BOLEHKAH kita membandingkan Freeport Indonesia (FI) dengan Blok Mahakam dan Asahan? Saya hanya tahu Asahan. Agak banyak. Soal berakhirnya kontrak

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News