Moratorium Pengiriman PMI Oleh Pemda: Antara Pembangkangan dan Jalan Perubahan

Moratorium Pengiriman PMI Oleh Pemda: Antara Pembangkangan dan Jalan Perubahan
Pemerhati Ketenagakerjaan Antonius Doni Dihen. Foto: Ist.

Kualitas fenomena tersebut tentu tergantung dari langkah selanjutnya. Ketika kebijakan moratorium hanya berhenti sebatas moratorium, tanpa langkah berikut yang bermutu, malah memberi ijin pada satu dua perusahaan penempatan, maka fenomena itu terlihat hanya sebagai pembangkangan galau, yang menyerah untuk mencari sesuatu yang berguna untuk perbaikan keadaan. Pembangkangan galau yang menggantungkan keadaan merupakan kebijakan yang tidak bertanggung jawab. Karena ia mengabaikan hak asasi warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, yang menjadi jiwa dari setiap undang-undang yang mengatur soal penempatan dan perlindungan pekerja migran di luar negeri. Dan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang lebih layak menjadi kebutuhan yang sangat mendesak dan serius di banyak daerah.

Tugas kita hari ini karena itu, adalah mengubah pembangkangan galau tersebut menjadi pembangkangan yang berguna, yang melahirkan sesuatu yang berguna bagi pembangunan suatu sistem. Sistem yang mampu menjawab persoalan hingga ke tingkat lokal, dengan dimensi lokalitasnya yang tidak mudah ditangkap oleh otoritas Jakarta.

Critical Points dan Solusi Sistem

1. Posisi Pemda yang Tanggung

Poin penting pertama yang dapat terdeteksi dari pembangkangan Pemerintah Daerah (Pemda) yang mewujud pada kebijakan moratorium adalah tanggungnya posisi Pemda dalam sistem penempatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia. Pemda Provinsi sejauh ini tidak memiliki kewenangan yang memadai, serta tidak dilengkapi dengan alat bantu pelaksanaan wewenang, untuk dapat melakukan perlindungan secara efektif. Sementara ketika ada masalah, justru Pemda merupakan pihak yang paling disalahkan. Menteri di Jakarta yang memiliki kewenangan penuh dan mestinya bertanggung jawab luput dari perhatian mereka yang protes.

Pertama, Pemda hanya memiliki tugas memberikan perlindungan sebelum bekerja dan sesudah bekerja, termasuk mengurus kepulangan TKI yang bermasalah, sebagaimana yang ditegaskan pada Pasal 40 UU PPMI. Padahal banyak masalah terjadi selama masa penempatan. Pemda Provinsi hanya mengurus limbah persoalan dari proses produksi yang sebagian besarnya tidak dia kendalikan.

Kedua, kepada Pemda tidak ditunjuk atau disediakan suatu mekanisme monitoring dan pengawasan yang efektif, karena memang sistem monitoring yang efektif, yang bisa mendeteksi dan menangkap mereka yang nakal dan keluar jalur, tidak tersedia. Dengan ketiadaan sistem dan mekanisme tersebut, bagaimana bisa melakukan pengawasan dan perlindungan secara efektif? Menjaga di bandara sebagai pintu keluar adalah mekanisme yang terlalu tradisional dan pasti tidak mampu menangkap semua kenakalan. Demikian pula Sisko TKLN adalah sistem perlindungan kepada mereka yang baik, dan bukan mekanisme untuk menangkap orang yang jahat.

Ketiga, walaupun Pemda memiliki wewenang (sesuai mandat Pasal 40) untuk melakukan evaluasi kepada PPTKIS (yang eksistensinya sesungguhnya menyimpan banyak potensi masalah), Pemda pasti tidak memiliki basis data yang cukup untuk melakukan evaluasi tersebut, karena basis data tersebut hanya bisa diproduksi oleh suatu mekanisme atau sistem yang baik. Bayangkan saja kalau Pemda hanya melakukan evaluasi berdasarkan laporan oleh PPTKIS sendiri.

Keputusan moratorium pengiriman PMI yang dilakukan oleh Pemda yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia dalam suatu perspektif yang tepat, walau mungkin pengambil kebijakan di Daerah melakukannya tanpa perspektif tertentu, hanya karena galau menghadapi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News