Moratorium Pengiriman PMI Oleh Pemda: Antara Pembangkangan dan Jalan Perubahan

Moratorium Pengiriman PMI Oleh Pemda: Antara Pembangkangan dan Jalan Perubahan
Pemerhati Ketenagakerjaan Antonius Doni Dihen. Foto: Ist.

Keempat, walaupun Pemda memiliki wewenang untuk melakukan evaluasi kepada PPTKIS, kewenangan menjatuhkan sanksi ada di tangan Menteri, dan kewajiban melapor oleh PPTKIS hanya ditujukan kepada Menteri. Laporan tersebut pun laporan berkala, entah berapa bulanan. Evaluasi Pemda pasti terbatas daya kendalinya.

Kelima, di tengah ketiadaan sistem monitoring dan pengawasan yang efektif yang dikendalikannya, bagaimana berharap Pemda dapat mendeteksi perselingkuhan antar oknum di lapangan jika pengawasan di lapangan tergantung sepenuhnya pada aparat kepolisian? Apakah bisa menjamin, bahwa oknum di lapangan tetap mampu menjaga integritasnya? Apalagi dengan potensi penghasilan yang ada di dalam bisnis ini?

Keenam, bagaimana Pemda harus ditugaskan untuk terutama fokus pada pelatihan dan pengendalian pintu keluar, jika masalahnya lebih terletak pada mereka yang tidak sampai di lembaga pelatihan dan mereka yang tidak melewati pintu keluar yang dijaga?

Jadi persoalannya sesungguhnya adalah rasa kegalauan tentang sesuatu yang kurang dan tidak beres, yang barangkali sulit dirumuskan, yang bagi saya sebetulnya bersumber pada keterbatasan kewenangan dan ketiadaan alat pendukung pelaksanaan kewenangan mengawasi.

2. Ketiadaan sistem pengawasan

Sebagaimana saya katakan di atas, kita tidak memiliki sistem pengawasan yang efektif. Yang ada adalah kegiatan-kegiatan dan mekanisme-mekanisme terpencar di bawah judul perlindungan sebelum bekerja, perlindungan selama bekerja, dan perlindungan setelah bekerja.

Jika ditelusuri semua kegiatan dan mekanisme tersebut, dapat dlilihat bahwa tidak ada kegiatan dan mekanisme yang ditujukan untuk mengawasi penyimpangan yang terjadi, yang membuat suatu proses penempatan menjadi non prosedural dan terjebak dalam ruang human trafficking. Bahwa penyimpangan terhadap prosedur dan mekanisme yang ada akan dikenakan sanksi itu iya, tetapi tidak tersedia cara untuk menangkap mereka yang keluar jalur dan melanggar aturan.

Kita dapat meihat bahwa di tengah ancaman human trafficking yang serius, Undang-Undang ini terlalu berpura-pura lugu, dan berasumsi bahwa semua pelakunya akan baik. Bahwa kampanye dan anjuran supaya semua prosedur harus diikuti saja sudah cukup. Juga Undang-Undang ini seolah berasumsi bahwa para calon pekerja migran kita adalah subyek yang mandiri dan kompeten, yang akan menguasai sepenuhnya prosedur setelah diberi pengetahuan, dan berdaya tahan ketika dia dirayu atau disalaharahkan. Jelas ini adalah asumsi yang keliru dari UU Perlindungan PMI.

Keputusan moratorium pengiriman PMI yang dilakukan oleh Pemda yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia dalam suatu perspektif yang tepat, walau mungkin pengambil kebijakan di Daerah melakukannya tanpa perspektif tertentu, hanya karena galau menghadapi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News