Muqowam: DPR Harus Mendengarkan Subjek UU MD3

Muqowam: DPR Harus Mendengarkan Subjek UU MD3
Ketua Komite I DPD RI, Ahmad Muqowam. Foto: Dokpri for JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Pembahasan Revisi Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) sudah memasuki babak akhir, yaitu Pembahasan Tingkat II di DPR RI. Isu yang cukup mengemuka adalah keinginan adanya penambahan dua atau tiga Wakil Ketua MPR RI.

Ketua Komite I DPD RI, Ahmad Muqowam menyampaikan tiga catatan terkait pembahasan revisi UU MD3 tersebut. Pertama, materi bahasan revisi UU MD3 semestinya melakukan rapat untuk mendengarkan subjek yang diatur oleh MD3 tersebut, yaitu DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota.

“Seingat saya DPD RI tidak pernah diundang sama sekali dalam rapat pembahasan MD3 di DPR. Sebaiknya subjek yang diatur oleh MD3 tersebut diundang, agar DPR dalam memutuskan dan membentuk sebuah UU, DPR tidak salah memposisioningkan masing-masing subjek yang diatur dalam UU MD3,” kata Muqowam kepada wartawan, Senin (5/2).

Muqowam mengingatkan DPR agar jangan menganggap tidak penting untuk mengundang DPD RI. Sebab perubahan lingkungan strategis dan dinamika yang terjadi pada masing-masing harus dijadikan masukan oleh DPR dalam pembahasan UU MD3 tersebut.

“Jangan ada kesan DPR mengangkangi Lembaga Parlemen di Indonesia, termasuk DPD RI. Padahal di internal DPR sendiri sesungguhnya juga perlu mereformasi diri untuk menyesuaikan dengan kemajuan zaman dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,” katanya.

Catatan kedua, menurut Muqowam, dalam hal penambahan kursi Wakil Ketua MPR RI, sebaiknya pembuatan aturan yang dilakukan tidak melaksanakan pada periode yang sama dengan pembentukan UU.

“Saya ingat bagaimana sakit hanya Partai Pemenang Pemilu 2014 tidak menjadi Ketua DPR RI, karena setelah diketahui pemenang Pemilu 2014, beberapa fraksi DPR buru-buru merevisi partai pemenang untuk tidak otomatis menjadi Ketua DPR RI,” katanya.

Yang signifikan adalah soal waktu pembentukan revisi UU MD3 tersebut, menurut Muqowam, revisi dilakukan setelah diketahui pemenang Pemilu 2014. Hal ini sekarang terjadi lagi, ketika tinggal dua tahun periode MPR 2014-2019, pembahasan UU dilakukan memberi jabatan Wakil Ketua MPR kepada Fraksi yang katanya layak mendapatkannya. Tolok ukurnya apa? Dan jangan salahkan masyarakat, jika berkembang kuat masyarakat Indonesia yang antipolitik, anti-parpol. Kondisi ini cukup membahayakan bagi masa depan bangsa,” kata Muqowam lagi.

Jangan ada kesan DPR mengangkangi Lembaga Parlemen di Indonesia, termasuk DPD RI. Padahal di internal DPR sendiri sesungguhnya juga perlu mereformasi diri

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News