Oposisi Sunyi

Dhimam Abror Djuraid

Oposisi Sunyi
Ilustrasi. Foto: Ricardo/JPNN.com

Anggota dewan yang melakukan interupsi diabaikan dan bahkan dilabrak dan dituding-tuding sampai kemudian sang anggota dewan meminta maaf. Tirani mayoritas sedang dipertunjukkan di depan rakyat. Suara oposisi yang minoritas akan makin hilang, dan DPR akan larut ditelan spiral keheningan.

DPR adalah the last bastion of democracy, benteng terakhir demokrasi. Di situlah para wakil rakyat berdiskusi dan berdebat secara demokratis dan saling menghormati. Di situlah para wakil rakyat memperdebatkan berbagai hal sebelum menjadi keputusan yang disepakati secara bulat atau lonjong.

Demokrasi bukan aklamasi. Kesepakatan tidak harus dicapai secara bulat. Kesepakatan secara lonjong pun tidak menjadi masalah, asal sudah melewati adu pendapat dan adu gagasan yang sehat. Tidak ada tirani mayoritas, tetapi jangan pula ada tirani minoritas.

Demokrasi liberal yang diterapkan di Indonesia punya prinsip 50 persen plus satu. Kalau perdebatan mentok menjadi deadlock sudah ada mekanisme voting sebagai jalan terakhir untuk mengambil keputusan. Hasil voting harus diterima sebagai keputusan bersama.

Sepakat untuk tidak sepakat, ‘’agree to disagree’’. Itulah gunanya voting, dan itulah mekanisme demokrasi. Anda memegang palu bukan untuk memukul siapa saja. Palu dipakai untuk mengatur law and order, menata aturan dan ketertiban.

Orang yang memegang palu akan melihat semua yang ada di depannya seperti paku. Orang yang pegang palu tidak ingin melihat ada paku yang paling menonjol. Paku yang paling menonjol akan jadi korban pertama ketokan palu. Sang pemegang palu akan menggetok semua paku supaya menjadi rata dan rapi.

Demokrasi memang jalan yang membosankan dan melelahkan. Secara alamiah manusia lahir untuk berdebat. Ada yang berdebat secara ilmiah, tetapi ada juga yang berdebat seperti kusir delman yang kudanya hanya bisa melihat satu arah ke depan. Itulah sebabnya mengapa warung kopi selalu ramai, karena di situ orang bebas untuk berdebat.

Warung kopi menjadi sumber tradisi demokrasi. Filosof Jerman Jurgen Habermas melihat obrolan di warung kopi di abad ke-18 sebagai fenomena munculnya ‘’ruang publik’’ atau public spehere.

Oposisi mati dan DPR menjadi sunyi, hening senyap disergap spiral keheningan. Semua harus satu suara, satu opini.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News