Oposisi Sunyi

Dhimam Abror Djuraid

Oposisi Sunyi
Ilustrasi. Foto: Ricardo/JPNN.com

Hak-hak individu yang ditelan oleh kolektivitas akan melahirkan fasisme. Hak kolektif lebih dikedepankan daripada hak individual. Kepentingan negara—apa pun itu definisinya—harus diutamakan ketimbang kepentingan individu.

Fasisme telah melahirkan pemimpin otoriter dan haus perang seperti Hitler di Jerman, Mussolini di Italia, dan rezim Jepang Teno Haika semasa perang dunia kedua.

Rezim fasisme muncul bukan karena dukungan mayoritas. Rezim fasisme berkuasa karena opini masyarakat hilang ditelan ‘’spiral keheningan’’.

Hitler hanya didukung oleh sekelompok kecil utra-nasionalis. Mussolini berbaris memasuki Kota Roma dengan segerombolan pendukung kecilnya yang berpakaian serbahitam. Partai Bolshevik pimpinan Vladimir Lenin hanya beranggotakan ratusan buruh saja.

Namun, mereka bisa merebut kekuasaan karena ‘’spiral of silence’’, suara oposisi dibuat sunyi dan diberangus sampai benar-benar habis. Yang lahir kemudian pemerintahan diktator yang mengeklaim mendapatkan dukungan kolektif rakyat. Suara yang menentang akan diisolasi dan dieksekusi.

Ketakutan terhadap isolasi dan eksekusi menyebabkan seseorang memilih melakukan konformitas, penyesuaian diri, ketimbang harus menjadi liyan. Lebih baik diam daripada menyuarakan opini yang berbeda. Satu orang diam, kemudian diikuti oleh lainnya dan kemudian lainnya lagi.

Diam menjadi lingkaran spiral yang menyedot semakin banyak orang kedalamnya menjadi spiral keheningan.

DPR sebagai rumah rakyat seharusnya ramai dengan perdebatan. Sebagai rumah rakyat wajar kalau DPR riuh rendah oleh berbagai macam perdebatan. Namun, adegan yang terjadi dalam sidang paripurna penetapan panglima TNI (8/11) menunjukkan bahwa DPR lebih suka menjadi rumah diam yang tenang dan seragam, tanpa ada suara liyan yang bisa bikin gaduh.

Oposisi mati dan DPR menjadi sunyi, hening senyap disergap spiral keheningan. Semua harus satu suara, satu opini.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News