Pandangan Terhadap Pembahasan Pendahuluan RAPBN 2019

Pandangan Terhadap Pembahasan Pendahuluan RAPBN 2019
Anggota MPR-DPR Fraksi PAN, Hakam Naja. Foto: Humas DPR RI

2. Nilai Tukar Rupiah

Asumsi nilai tukar Rupiah yang diproyeksikan dalam RAPBN 2019 tidak realistis.* Nilai tukar Rupiah per 3 Juli 2018 telah menembus Rp14.400/US$, jauh melebihi asumsi APBN 2018 sebesar Rp 13.400/US$, selisih Rp 1.000.

Gejolak nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat sepanjang paruh pertama 2018 ini menjadi ganjalan bagi perekonomian Indonesia dalam memanfaatkan momentum pemulihan ekonomi. Pelemahan nilai tukar Rupiah yang cukup dalam (-6,47%) menimbulkan kekhawatiran masyarakat dan membangkitkan trauma akan pengalaman pahit krisis ekonomi 1997/1998.

Depresiasi nilai tukar Rupiah yang dihadapi saat ini berimbas terhadap seluruh mesin perekonomian. Misalnya, daya beli masyarakat yang masih lemah (tercermin dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang baru tumbuh 4,95% pada triwulan I-2018) akan turut terpapar oleh efek pelemahan nilai tukar Rupiah. Contohnya, kenaikan harga BBM yang baru-baru ini dinaikkan oleh Pertamina akibat imbas pelemahan nilai tukar Rupiah serta kenaikan harga minyak dunia. Dunia usaha atau industri juga turut merasakan pahitnya depresiasi Rupiah dikarenakan sebagian besar kebutuhan barang modal dan bahan baku produksi masih mengandalkan impor.

Akibatnya, defisit neraca perdagangan Indonesia selama Januari-Mei 2018 telah mencapai US$ 2,83 miliar, merupakan rekor terburuk sejak periode yang sama tahun 2014. Selain itu, volatilitas nilai tukar Rupiah juga telah menyebabkan anjloknya kinerja Pasar Modal Indonesia. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Indonesia merosot cukup dalam mencapai -8,63% (year to date), terburuk kedua di kawasan ASEAN setelah Filipina (-16%).

Modal asing yang telah keluar dari Pasar Modal Indonesia pun cukup fantastis yaitu sebesar Rp 51,24 triliun sejak semester pertama 2018, padahal selama setahun penuh 2017 dana asing yang keluar “hanya” Rp 39,9 triliun.

Kemudian, hal yang seringkali luput dari perhatian publik bahwa pemerintah sebetulnya memiliki andil yang cukup besar terhadap melemahnya nilai tukar Rupiah. Bagaimana tidak, permintaan Dolar AS yang sangat besar di dalam negeri tidak lepas dari besarnya kebutuhan pemerintah untuk membayar utang pemerintah yang mengalami puncak jatuh tempo pada tahun 2018.

Bahkan dengan porsi utang pemerintah yang berdenominasi mata uang Dolar AS mencapai 30% terhadap total utang pemerintah pusat maka pelemahan nilai tukar Rupiah akan semakin memberatkan keuangan negara karena nilai utang yang harus dibayar pemerintah menjadi lebih besar. Upaya Otoritas Moneter (BI) dalam meredam gejolak nilai tukar Rupiah melalui peningkatan suku bunga acuan sebesar 1% dalam 2 bulan terakhir juga belum mampu mengerek nilai tukar Rupiah ke bawah Rp14.000 per US$.

Depresiasi nilai tukar Rupiah yang dihadapi saat ini berimbas terhadap seluruh mesin perekonomian. Misalnya, daya beli masyarakat yang masih lemah.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News