Pelajaran dari Batu dan Cucu

Oleh Dahlan Iskan

Pelajaran dari Batu dan Cucu
Dahlan Iskan. Ilustrasi: Jawa Pos

Tidak perlu mendatangkan material dari luar. ”Tanpa menghadapi kesulitan itu tidak akan ditemukan sumber material untuk membangun jalan,” ujar Husin.

Tidak semua batu dipindahkan. Yang sebesar ayam ditinggal. Untuk dilumat di tempat. Dijadikan selembut tanah. Agar menyatu di situ. Kebetulan jenis batunya karang. Bisa dilembutkan menjadi kapur.

Memang, cara ini sangat memamah uang. Biaya membuat kebun tebu menjadi sangat mahal. Satu hektar perlu biaya –ampuuuun– Rp 200 juta. Baru tebu bisa ditanam.

Bandingkan dengan di Jawa. Atau Lampung. Hanya diperlukan Rp 12 juta/ha. Tebu sudah bisa ditanam.

Peralatan yang harus disediakan pun bukan lagi cangkul. Atau lencek. Atau ganco. Tapi alat-alat berat: ripper dozer, buldoser, ekskavator, stone crusher, sorting-bucket excavator dan seterusnya.

Waktunya pun sangat lama. Pun dengan alat sebesar itu. Satu hektare perlu pengerjaan tiga bulan.

Betapa mahal membangun pabrik gula di Sumba Timur itu. Tinggal mengalikan. Delapan ribu hektar kali Rp 200 juta. Saya bisa menghitung itu. Tapi angka di kalkulator saya tidak cukup banyak.

Untung ada dua orang super kaya. Yang mau terjun ke sana. Robert Budi Hartono dan William Katuari. Yang satu pemilik grup Djarum. Satunya lagi pemilik grup Wing. Yang satu orang Kudus (Jateng). Satunya lagi orang Surabaya asal Tulungagung.

Lucy Agnes melupakan kemewahan dunia. Ponakan pengusaha superkaya itu kini berada di India. Meninggalkan kerajaan bisnis kakeknya demi mengabdi di gereja.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News