Pemilu Elektronik, Kenapa Tidak?

Pemilu Elektronik, Kenapa Tidak?
Wakil ketua Komisi II DPR Lukman Edy

Di Brazil, elektronik voting dimulai sejak tahun 1996 di Negara bagian Catarina, dan sejak tahun 2000 semua pemilihan di Brazil berbasis elektronik. Di Perancis, tahun 2007 partai UMP France mengadakan pemilihan pendahuluan presiden menggunakan elektronik voting, dan sejak 2009 warga Peranscis memilih untuk menggunakan elektronik voting pada pemilu presiden. Di India bahkan pemilu elektronik dilaksanakan mulai tahun 1980 hingga saat ini.

Indonesia sebagai Negara dengan perkembangan penggunaan internet tertinggi di dunia dalam kurun waktu lima tahun terakhir, tentu tak perlu ditanyakan tentang kesiapannya. Masyarakat Indonesia sangat mudah beradaptasi dengan perkembangan, well informed. Karenanya, jika pemilu elektronik diberlakukan, penulis yakin masyarakat tidak akan mengalami kesulitan untuk menggeluti teknologi ini. Tinggal pertanyaannya kemudian adalah amankah penggunaan electronic voting, sejauhmana efisiensi yang ditimbulkan oleh electronic voting, sejauhmana persiapan yang dibutuhkan, serta bagaimana pengaruhnya pada tatanan sosial politik electronic voting dalam pemilu?

Undang-undang No 11 Tahun 2008 tentang ITE menyatakan “Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi”.

Informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Dengan demikian merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.Logika hukum dalam Undang-undang ini memperkuat asumsi bahwa elektronik secara aman dapat dijadikan sebagai bukti hukum.

Secara teknis, dalam paparannya mengenai pemilu elektronik, BPPT menjelaskan bahwa semua hal yang terkait dengan electronic akan dapat dilacak record penggunaannya secara electronic. Sebagai contoh, penggunaan data dalam suatu hardisk, akan dapat dilacak kembali file-file yang ada di dalamnya, meskipun file-file tersebut telah dihapus dari flashdisk tersebut.

Demikian halnya mesin electronic pemilu ini, dia akan mampu melacak kapan terjadinya perubahan data pada “chips” yang mewakili TPS tertentu; jika seandainya terjadi upaya kecurangan pada pemilu di suatu daerah. Karenanya, dari sisi pengawalan hasil pemilu di masing-masing TPS, dengan pemilu elektronik dipastikan akan terkawal hingga rekapitulasi akhir di KPU secara aman.

Keamanan hasil pemilu di TPS setidaknya tercermin dari dua hal; pertama, hasil rekapitulasi selain akan disimpan di dalam chips yang dibawa oleh seorang petugas ke KPUD, juga tersimpan dalam bentuk kumpulan barcode yang diamankan dalam kotak suara, untuk dapat dilakukan cross check apabila terjadi penyimpangan data dalam chips.

Bila persoalan keamanan sudah terjawab, maka pertimbangan terakhir yang layak diajukan adalah efisiensi pembiayaan. Apakah pemilu elektronik akan mampu menekan biaya pemilu? Apakah e-voting lebih efisien dari pemenuhan logistic pemilu manual selama ini?

Salah satu persoalan pemilu yang hampir selalu muncul dari pemilu ke pemilu adalah persoalan kecurangan dalam pelaksanaan pemilu yang kemudian berimplikasi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News