Peraturan MK Dinilai Kontra UU Pilkada

Peraturan MK Dinilai Kontra UU Pilkada
Praktisi Hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Benteng Harapan, Ardy Susanto. FOTO: DOK.PRI for JPNN.com

jpnn.com - JAKARTA – Sejumlah kalangan mempertanyakan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat penyelesaian sengketa hasil penghitungan suara Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) 2015. Pasalnya, Peraturan MK Nomor 5 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota, bertentangan atau tidak berpedoman pada UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, misalnya pembatasan selisih suara yang ditangani MK.

Penilaian itu disampaikan Praktisi Hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Benteng Harapan, Ardy Susanto dan Direktur Center For Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi, di Jakarta, Senin (18/1).

“Pengaturan batasan selisih suara untuk menangani sengketa Pilkada melalui Peraturan MK itu mereduksi UU Pilkada,” tegas Ardy Susanto.

Senada dengan Ardy Susanto, Direktur Center For Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi, mengkhawatirkan upaya para pencari keadilan khususnya bagi para pasangan calon dalam Pillada serentak 9 Desember lalu, yang merasa dirugikan atas hasil perolehan suara yang telah diumumkan. Upaya mencari keadilan, kata Uchok, sepertinya kandas di tengah jalan atau ditangan Mahkamah Konstitusi (MK).

Menurut Uchok, MK menggunakan pembatasan syarat selisih suara bukan berpedoman kepada kewenangan diberikan oleh UU 8/2015, tapi lebih kepada penafsiran yang tertuang dalam Peraturan MK 5/2015 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.

“Kalau MK tetap menerapkan Peraturan MK 5/2015, bukan berpedoman kepada UU 8/2015, maka MK tidak mewujudkan  keadilan subtantif.  Dan Bahwa MK harus mempertanggungjawabkan kepada publik atas tafsir yang membingungkan yang ternyata sama sekali tidak memberikan rasa keadilan bagi para pencari keadilan,” tegas Uchok.

Uchok pun menegaskan, bila MK tetap mempergunakan Peraturan MK itu, maka MK merupakan lembaga pemalas Dari perkirakan perkaraan yang masuk ke MK sebanyak 147 perkara, maka perkara yang disidangkan oleh MK hanya sekisar dibawah 10 perkara saja.

Sebelumnya, puluhan orang yang tergabung dalam Forum Masyarakat Peduli Pilkada (FMPP) 2015, Kamis (14/1) mendatangi Komisi II DPR RI untuk melakukan rapat konsultasi terkait kesimpangsiuran tata cara beracara di Mahkamah Konstitusi.

JAKARTA – Sejumlah kalangan mempertanyakan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat penyelesaian sengketa hasil penghitungan suara Pemilihan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News