Persoalan Beras, Juga Karena Tata Niaga

Persoalan Beras, Juga Karena Tata Niaga
Persediaan beras. Foto: Humas Kementan

jpnn.com, JAKARTA - Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Rusli Abdullah mengingatkan bahwa pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah, setelah keluarnya rillis resmi BPS terkait data Produksi Beras Nasional dengan menggunakan metode baru KSA (Kerangka Sampling Area) bulan lalu.

Dia menilai permasalahan beras tidak hanya terletak di masalah data produksi, tetapi juga di tata niaga. Oleh sebab itu, dia mendesak pemerintah untuk mengumpulkan data persediaan beras dan lokasi-lokasinya. Sebab, tanpa data itu, pemerintah tidak akan mempunyai gambaran mengenai konsumsi riil dari beras yang diproduksi petani.

Menurutnya, ketiadaan data mengenai persediaan beras dan lokasi, akan menciptakan informasi yang semu. “Banyak oknum yang dengan mudahnya bisa memainkan harga beras di pasar," kata Rusli Abdullah.

"Selama ini, kita hanya tahu bahwa ada data gabah yang keluar dari sawah. Tapi, setelah itu, apakah pemerintah punya kendali? Stoknya dimana saja? Berapa stoknya? . Ini penting, demi pembentukan harga beras yang normal,” tambahnya.

Jika memang pemerintah kesulitan untuk mendata semua stok beras di gudang-gudang, kata Rusli, pendataan bisa dilakukan di 16 provinsi yang memiliki lahan baku sawah nasional yang luas. Dan ia meyakini data mengenai persediaan beras tidak akan sia-sia. Selain spekulasi harga beras bisa ditekan, petani tentu berhak tahu bahwa hasil produksinya benar-benar dikonsumsi masyarakat.

“Kalau sekarang pemerintah sudah ada data akurat mengenai produksi, maka data itu harus sampai ke penggilingan. Sebab, kalau tidak ada, maka yang untung adalah tengkulak, yakni oknum yang selama memanfaatkan volatilitas harga beras,” pungkasnya.

Di tempat terpisah, Direktur Serealia Ditjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian (Kementan) Bambang Sugiharto mengatakan, perbaikan data produksi beras oleh BPS masih ada beberapa faktor kritis yang perlu diuji, meskipun data dasar yang digunakan telah menggunakan teknologi satelit. Faktor pertama adalah belum melihat deliniasi polygon lahan sawah yang dipetakan dan mencocokkan dengan kondisi lapangan.

Selain itu, dia menilai ada hal yang kurang logis dari hasil perhitungan metode baru ini. Dengan metode baru ini, produksi beras tahun 2018 diperkirakan hanya surplus 2,85 juta ton. “Angka ini, terlalu underestimate," ujar Bambang.

Ekonom INDEF Rusli Abdullah menilai, permasalahan beras tidak hanya terletak di masalah data produksi, tetapi juga di tata niaga.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News