Polarisasi Pilpres 2014 dan Pilkada DKI Berpotensi Lanjut di 2019
’’Putaran pertama itu memberi ruang untuk banyak calon,” imbuhnya. Kalaupun putaran kedua sisa dua, kurun waktu yang ada di putaran dua tidak terlampau panjang. Di sisi lain, polarisasinya tidak lagi meruncing sejak awal.
Dia menilai, masyarakat Indonesia belum siap dengan pilihan politik yang saling dihadapkan. Akibatnya, kondisinya menjadi panas. Pilihan politik berdampak langsung dengan renggangnya hubungan pertemanan.
Sementara itu, jika ada banyak alternatif calon, secara psikologis akan lebih adem. ’’Sebaiknya minimal tiga atau empat lah. Itu cukup beraneka ragam untuk mencerminkan kebinekaan Indonesia,’’ terangnya.
Lantas, apakah presidential threshold harus dihapuskan? Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu menyerahkan ke pansus.
Hanya, jika merujuk putusan MK terkait dengan pemilu serentak, partai peserta pemilu berhak mengajukan calon.
’’Kasih aja kesempatan luas, toh nanti berkoalisi sendiri jika merasa tidak kuat,’’ ungkapnya. (far/c4/agm)
Pengkubuan keras hingga tingkat akar rumput yang terjadi dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 harus menjadi pelajaran.
Redaktur & Reporter : Soetomo
- Bicara di MK, Anies Blak-blakan Sebut Pilpres 2024 Tidak Jujur dan Adil
- Politikus NasDem Dorong Anies Maju Lagi di Pilkada Jakarta, Mau Enggak, ya?
- Kepentingan Umum
- Gibran Keluar Lebih Dulu dari Rumah di Kertanegara, Lalu Prabowo, Tak Ada Omongan
- Tanggapi Jimly soal Hak Angket Pemilu 2024, Ganjar: Kami Tidak Menggertak
- Diajak Jajal Suzuki Jimny 5 Pintu di IIMS 2024, Ganjar Berkomentar Begini, Mengejutkan