Polemik Jilbab dan Realitas Politik

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Polemik Jilbab dan Realitas Politik
Gubernur Anies Baswedan, Ferry Farhati, dan besan berfoto bersama Presiden Jokowi dan Ibu Iriana saat malam resepsi Mutiara Annisa Baswedan-Ali Saleh di Candi Bentar Hall, Ancol, Jakarta Utara, Jumat (29/7). Foto: dokumentasi Pemprov DKI.

Sekarang Anies masuk dalam gerbong jajaran tokoh yang Islam yang keluarganya tidak memakai jilbab. 

Prof Quraish Shihab sudah lama berada di dalam gerbong itu dan mungkin dianggap sebagai masinisnya.

Prof Quraish seorang ahli tafsir, sudah hafal betul pertanyaan itu karena sudah ditanyakan berkali-kali. 

Hal yang sama juga dialami almarhum Noercholish Madjid alias Cak Nur yang sering mendapatkan serangan soal jilbab yang bersifat personal, karena istrinya, Omie Madjid, dan putrinya, Nadia Madjid, yang mukim di Amerika, tidak berjilbab. 

Hal yang sama juga dialamatkan kepada almarhum Gus Dur, Abdurrahman Wahid, yang istri dan putri-putrinya tidak berjilbab, dan hanya mengenakan kerudung. 

Putri ragil Gus Dur, Inayah Wulandari, malah tampil polosan dan nyentrik dengan rambut yang disemir warna-warni.

Bagi Gus Dur mudah sekali menangkis serangan itu. Dengan gaya "slengekannya" yang khas Gus Dur bisa menjawab dengan mudah melalui konsep ‘’Pribumiisasi Islam’’ bahwa jilbab adalah bagian dari budaya yang bisa disesuaikan dengan budaya lokal.

Suatu ketika Gus Dur ditanya mengenai penyebab terjadinya gempa bumi di Bantul, DIY pada 2006. Dengan enak Gus Dur menjawab gempa terjadi karena Nyai Roro Kidul dipaksa memakai jilbab. Jawaban "slengekan" ini menjadi terkenal karena lucu khas Gus Dur.

Debat jilbab menjadi simbol pertarungan antara sekularisasi dan formalisasi agama di Indonesia sampai sekarang.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News