Polemik Jilbab dan Realitas Politik

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Polemik Jilbab dan Realitas Politik
Gubernur Anies Baswedan, Ferry Farhati, dan besan berfoto bersama Presiden Jokowi dan Ibu Iriana saat malam resepsi Mutiara Annisa Baswedan-Ali Saleh di Candi Bentar Hall, Ancol, Jakarta Utara, Jumat (29/7). Foto: dokumentasi Pemprov DKI.

Cak Nur dan Gus Dur sama-sama dari Jombang, Jatim. Sama-sama dianggap sebagai pentolan Islam liberal dan pemikiran-pemikirannya kerap kontroversial dan tidak bisa diterima oleh kalangan Islam konservatif. 

Gus Dur ceplas-ceplos, tanpa tedeng aling-aling, gaya bicaranya sering ludrukan khas Jombang. 

Cak Nur lebih halus, intelektual, dan sejuk. Akan tetapi, gagasan dua orang itu sama-sama tajam dan menusuk.

Prof Quraish lebih mendalami tafsir kontemporer sedangkan Cak Nur dan Gus Dur lebih asyik dengan khazanah pemikiran Islam klasik sampai kontemporer. 

Namun, dalam soal jilbab, tiga tokoh itu senasib dan sepenanggungan, sama-sama mendapatkan serangan pribadi.

Ketiga tokoh itu punya pandangan yang kurang lebih sama dalam soal jilbab. Mereka lebih melihatnya sebagai bagian dari budaya ketimbang syariah. Ketiganya juga melihat tidak ada perintah yang tegas mengenai kewajiban berjilbab dan lebih melihat faktor decency, kepantasan dalam berpakaian. 

Karena itu, Najwa Shihab tidak pakai kerudung, Prof Shihab santai saja. Mbak Omie dan Nadia tampil polosan tanpa jilbab, Cak Nur tenang-tenang saja, dan ketika Bu Sinta, Mbak Yenny, dan adik-adiknya hanya menyampirkan kerudung di kepala, Gus Dur ketawa-ketawa saja. Gitu saja kok repot.

Akan tetapi, tentu saja, urusannya tidak sesederhana itu. Urusan jilbab menjadi kontroversi serius sepanjang sejarah Indonesia sejak Orde Baru sampai sekarang. 

Debat jilbab menjadi simbol pertarungan antara sekularisasi dan formalisasi agama di Indonesia sampai sekarang.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News