Polemik UU ITE: Political Will dan Ruang Publik yang Sehat

Oleh: Zulfahmy Wahab (Wasekjen PB PMII)

Polemik UU ITE: Political Will dan Ruang Publik yang Sehat
Ilustrasi: Ardisa Barack/JPNN

Yang lebih berbahaya lagi, hoaks dan ujaran kebencian yang diproduksi menghasilkan sebuah propaganda yang bertujuan untuk menyulut amarah publik secara masif akibat dari perbedaan pilihan dalam sebuah kontestasi politik, konflik ideologi, isu agama dan sara.

Apabila hal tersebut justru dibiarkan makin membuat kita jauh dari rasa persatuan. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa media sosial hari ini menjadi kekuatan baru dalam peradaban dunia modern.

Karena sebagian besar aktivitas masyarakat hari ini menggunakan internet dan media sosial. Media sosial saat ini menjadi ruang partisipatif bagi masyarakat dalam menyampaikan pendapatnya.

Dalam data yang diluncurkan We Are Social dan Hootsuite pada tahun 2020 mencatat mengenai pengguna internet di Indonesia mencapai 175,4 juta orang dengan presentase hampir menyentuh 64 persen dari total jumlah penduduk dan 160 juta pengguna media sosial aktif dengan presentase 59 persen dari jumlah penduduk.

Bila merujuk dari data di atas tak ayal bila setiap individu berusaha saling mendominasi dan mempengaruhi individu lainnya dengan kekuatan media sosial.

Berupaya merasuk ke dalam pikiran serta mampu mengarahkan pikiran dari tiap individu. 

Dibutuhkan sebuah policy yang dapat mengatur lalu lintas di internet agar menghasilkan ruang publik yang sehat tanpa harus mengganggu kebebasan berpendapat masyarakat.

Merujuk kepada teori Jurgen Habermas mengenai apa itu ruang publik dan peranannya dalam proses berdemokrasi, ruang publik merupakan ruang demokratis atau wahana diskursus masyarakat.

Pernyataan Presiden Joko Widodo yang meminta masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik, masukan, atau potensi maladministrasi seketika memancing respons publik.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News