Quick Count Berfungsi Kontrol Pemilu

Quick Count Berfungsi Kontrol Pemilu
Burhanuddin Muhtadi. Getty Images

Burhanuddin Muhtadi tampil tenang membeberkan pentingnya lembaga survei dalam disuksi terbuka yang The Indonesian Institute bertajuk ‘Quick Count, Etika Lembaga Riset, dan Tangung Jawab Ilmuwan’.
    
"Quick count pada dasarnya dilakukan untuk mencegah kecurangan, tujuannya untuk mendeteksi dan mencegah kecurangan. Dalam sejarahnya hitung cepat ini awalnya dilakukan di Filipina pada tahun 1984, karena publik sudah tidak percaya pada Marcos,” kata Muhtadi seperti yang dilansir INDOPOS (Grup JPNN.com), Jumat (18/7).

Ketika Marcos melakukan pemilu lebih awal, menurut dia,  muncullah inisiatif dari civil society untuk melakukan quick count. NAMFREL saat itu melakukan quick count di 96.000 TPS, karena mengharapkan legitimasi yang lebih kuat. Pada saat itu, quick count menghasilkan pemimpin yang berbeda dari yang ditetapkan oleh KPU Filipina. Sehingga akhirnya ada revolusi yang menggulingkan Ferdinand Marcos.
    
“Bahwa quick count bisa memprediksi siapa pemenang pemilu itu bonus bagi saya. Itu bagus juga, supaya orang bisa segera move on pasca pemilihan. Tapi kita harus kembali ingat bahwa quick count berfungsi untuk mengontrol pemilu. Jadi kita justru tidak boleh menjadikan KPU sebagai pengontrol quick count. Sebab ini bertolak belakang dengan raison d etre munculnya quick count,” kata Burhanduddin.    
    
Menurutnya, data quick count diambil dari tangan pertama. Dalam sistem kita, suara tidak dihitung langsung dari tingkat lokal. Tapi berjenjang dari bawah sampai ke pusat. Semakin tinggi jenjang, peluang kecurangan semakin besar.
    
“Semakin besar jenjang seperti dalam sistem proporsional kita, potensi kecurangan besar. Quick count justru langsung diambil dari tingkat TPS. Jokowi cuma punya saksi di sekitar 80 persen TPS, jadi potensi kecurangan masih besar. Karena quick Count diambil dari tangan pertama maka dapa meminimalkan potensi kecurangan,” ujarnya lagi.
    
Ringkasnya, tambah Direktur Indikator Politik Indonesia ini, karena tangan pertama jika dilakukan dengan standar dan prosedur yang benar,  seharusnya tidak berbeda jauh. Kalaupun berbeda tidak jauh karena masih dalam margin of error.
    
Di tempat yang sama, Hamdi Muluk mengatakan, profesionalitas Perhimpunan Lembaga Survei dan Opini Publik (Persepi) dijamin dengan netralitas dan integritas anggota dewan etiknya. Anggota dewan etik yang merangkap pelaku survei harus keluar dari dewan etik jika lembaga milik mereka sedang diperiksa oleh dewan etik.
    
Dikatakan, quick count berbeda dengan survei, jajak pendapat atau polling. QC bisa dipercaya sebagai patokan. Memang ada beberapa lembaga survei  yang metodologinya tidak jelas.   “Oleh karena itu anggota Persepi sebagai pelaku QC harus bersedia diaudit juga,” ujarnya.
    
Menurut Hamdi, Puskaptis dan JSI tidak dapat dipanggil karena  mereka menolak.  Mereka melihat dewan etik Persepi tidak independen berdasar struktur keanggotaan, padahal orang seperti Saiful Mujani telah dikeluarkan dari keanggotaan dewan etik). “JSI mengundurkan diri dari Persepi di hari-H audit,” ujarnya. (ind)


Burhanuddin Muhtadi tampil tenang membeberkan pentingnya lembaga survei dalam disuksi terbuka yang The Indonesian Institute bertajuk ‘Quick


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News