Rektor

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Rektor
Ilustrasi UI. Foto: Universitas Indonesia

Dalam statuta UI, seorang rektor dilarang untuk merangkap jabatan di Badan Usaha Milik Negara dari pusat sampai daerah.

Sorotan ramai diarahkan kepada Ari Kuncoro, karena dia rangkap jabatan menjadi komisaris di sejumlah bank pemerintah. Dia pun dituntut supaya memilih satu di antara dua, tetap menjadi rektor, tetapi melepas jabatan komisaris, atau tetap menjadi komisaris, tetapi mundur dari jabatan rektor.

Ari Kuncoro memilih dua-duanya. Tetap menjadi rektor dan tetap menjadi komisaris di bank negara. Bukan Ari Kuncoro yang harus mundur, tetapi statuta yang diubah. Statuta lama melarang rektor rangkap jabatan, revisi baru statuta membolehkan rektor rangkap jabatan.

Buruk muka kaca dibelah. Bukan muka buruk yang direparasi, malah kaca yang diremukkan. Bukan berlatih menari yang bagus, lantai malah dibongkar.

Kampus adalah sumber suara moral kebenaran. Kampus adalah penjaga kebenaran. Kaum intelektual kampus adalah agen perubahan. Kaum intelektual kampus adalah sumber suara kritis terhadap kekuasaan.

Sejak kasus gelar ‘’King of Lip Service’’ yang diberikan BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) UI kepada Presiden Jokowi, Ari Kuncoro dianggap telah pasang badan untuk membela Jokowi.

Ia memanggil dan mengadili para mahasiswa itu. Opini publik pun terbelah. Banyak yang merundung mahasiswa, tetapi banyak pula yang membelejeti Ari Kuncoro.

Di tengah kontroversi itulah terungkap bahwa ternyata Ari Kuncoro rangkap jabatan menjadi komisaris di bank pemerintah. Gugatan terhadap Ari Kuncoro supaya mundur dari jabatan rektor sangat keras. Ia dianggap berpolitik dan mencampuradukkan kampus dengan kekuasaan.

Lebih baik mati menghirup gas beracun, daripada kebebasannya mati karena menghirup racun kekuasaan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News