Santoso, Dengarlah Harapan Keluarga di Lereng Sumbing Ini

Santoso, Dengarlah Harapan Keluarga di Lereng Sumbing Ini
Ahmad Basri (kiri) warga di Desa Adipuro, Kaliangkrik, Kabupaten Magelang yang masih saudara sepupu Santoso (kanan). Foto: Radar Kedu/JPG

jpnn.com - MAGELANG - Nama Santoso alias Abu Wardah yang kini menjadi komandan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) berada di puncak teratas buronan yang dicari aparat keamanan. Di tengah upaya aparat memburu Santoso, pihak keluarga pun berharap agar pria yang memimpin kelompok militan itu segera  menyerahkan diri.

Keluarga Santoso di lereng Gunung Sumbing, Jawa Tengah memiliki harapan besar agar ia bisa kembali ke keluarga. Ada tiga hal yang selalu diharapkan keluarga terhadap terduga pimpinan teroris itu. Yakni agar Santoso segera sadar, menyerahkan diri dan bertobat.

Ahmad Basri (43), sepupu Santoso mengatakan, pihak keluarga sangat berharap bisa kembali berkumpul bersama-sama dengan tenang. “Setiap setelah salat, saya selalu berdoa agar Santoso bisa segera sadar, lalu meneyerahkan diri.  Baru kemudian Santoso bisa bertobat. Tapi doa saya yang pertama itu sadar terlebih dahulu,” katanya saat ditemui di Desa Adipuro, Kaliangkrik, Kabupaten Magelang, Selasa (12/4).   

Basri menuturkan, orang tua Santoso, Irsan dan Rumiyah merupakan warga asli Kaliangkrik. Namun, mereka memutuskan transmigrsi ke Palu, Sulawesi Tengah, pada 1970 silam. “Saat itu orang tuanya tengah mengandung kakak perempuan Santoso,” ujar Basri.

Saat orang tua Santoso bertransmigrasi ke Sulawesi pada 1970 itu, Basri memang belum lahir. Dengan demikian, ia tidak mengetahui secara pasti kehidupan Santoso sejak kecil.

Menurutnya, sepupunya itu lahir di Sulawesi. Ia pernah bertemu saat Santoso pulang ke keluar-anya di Kaliangkrik. “Waktu itu, ia pulang ke sini setelah lulus SMA,  sekitar tahun 1998 silam,” tuturnya.

Santoso datang ke Desa Adipuro bersama ayahnya untuk bersilaturahmi dengan keluarganya.  Selain itu, ia juga menjual warisan dari  ayahnya. Lahan dengan ukuran 9 × 6 meter laku dijual dengan harga Rp 1,5 juta.  Uang itu digunakan untuk biaya transportasi Santoso Rp 500 ribu.

“Kemudian Rp 1 juta sisanya dikirim selang beberapa waktu.  Saya sendiri yang kirim waktu itu. Santoso pulang ke Sulawesi, sementara ayahnya pulang ke Sumatera di tempat anaknya yang perempuan,” ungkapnya.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News