Serbabersama

Serbabersama
Budi Gunadi Sadikin. Foto: Ricardo/JPNN.com

Mungkin Pak Menteri menyesal: mengapa mau diangkat menjadi menteri. Yang pengangkatannya dilakukan di tengah pandemi. Bukan sebelum pandemi. Beliau tentu sudah tahu: risiko apa yang harus dihadapi. Seberat apa tanggung jawabnya.

Kini beliau tidak bisa lagi menyesali diri. Di depannya hanya ada pilihan: mundur atau bertahan. Saya akan menghargai dua-duanya.

Kalau beliau mundur, memang pahit sekali. Mungkin baru sekali ini ia mengalami kegagalan dalam karier.

Beliau bukan orang yang diambil dari comberan. Beliau adalah berlian di sepanjang hidupnya: kuliah di ITB –prodi nuklir pula, jadi bankir yang sangat menonjol, menjadi CEO salah satu bank terbesar di negeri ini –dengan sukses besar– menjadi penerobos pengambilalihan Freeport –yang sangat bersejarah.

Lalu, masuk ke arena jabatan politik: kalah.

Letnan Jenderal Ali Sadikin juga selalu sukses besar. Jadi dewa. Dipuja. Lalu, masuk arena sepak bola: gagal. Namanya pun jatuh.

Waktu naik ke arena politik, beliau masuk posisi yang salah. Beliau bukan dokter. Namun, mau menjadi menteri kesehatan.

Saya termasuk yang tidak menilai itu salah. Menjadi menteri adalah menjadi pemimpin –bukan menjadi kepala bagian produksi sebuah pabrik.

Bapak Presiden ke sebuah apotek kecil di Bogor. Dalam keadaan normal pun belum tentu punya stok vitamin D3 5.000 IU

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News