Sistem Baru Tak Ubah Nilai Ekspor

Pergantian dari FOB ke CIF

Sistem Baru Tak Ubah Nilai Ekspor
Sistem Baru Tak Ubah Nilai Ekspor

JAKARTA - Pemerintah mencoba satu suara soal kebijakan pencatatan ekspor. Ini terkait dengan polemik perubahan rencana pencatatan ekspor dari skema free on board (FOB) menjadi cost, insurance, and freight (CIF).
       
Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan Susiwijono Moegiarso mengatakan, perubahan skema dari FOB menjadi CIF sama sekali tidak akan mengubah nilai ekspor.

"Sebab, sesuai standar internasional PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa), ekspor harus dicatat dalam FOB dan impor dalam CIF, tidak bisa diubah," ujarnya kepada Jawa Pos kemarin (31/3).
       
Menurut Susiwijono, badan PBB yang dimaksud adalah United Nations Statistic Division (UNSD) yang khusus menangani statistik. Badan tersebut menetapkan International Merchandise Trade Statistics (IMTS) yang mewajibkan pencatatan perdagangan internasional dalam FOB untuk ekspor dan CIF untuk impor.
       
Sebagaimana diwartakan, Februari lalu Menteri Keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 41/PMK.04/2014 tentang Tata Cara Pengisian Nilai Transaksi Ekspor dalam CIF pada Pemberitahuan Ekspor Barang.
       
Selama ini, dengan skema pelaporan FOB ekspor hanya mencerminkan nilai barang semata. Sebab, biaya sampai barang masuk ke kapal, biaya pengapalan, dan asuransi ditanggung pembeli atau importer di luar negeri. Dengan skema CIF, unsur jasa muat, jasa pengapalan, dan jasa asuransi akan ikut tercatat dalam dokumen ekspor.
       
Perubahan skema ini sempat memicu polemik karena dinilai hanya sebagai strategi pemerintah untuk menaikkan nilai ekspor. Dalam studinya, Kementerian Perdagangan menyebut perubahan metode pencatatan tersebut bisa meningkatkan nilai ekspor Indonesia sekitar 8-9 persen.

Bila berlaku mulai 1 Maret 2014, perubahan ini akan tampak pada data ekspor Maret yang dipublikasikan BPS pada awal Mei mendatang. Jika dengan skema FOB nilai ekspor Maret adalah USD 15 miliar, maka dengan skema CIF nilainya bisa naik menjadi USD 16,3 miliar.
       
Hal itu lantas dikritik ekonom senior Faisal Basri. Menurut dia, perubahan metode itu tidak akan berjalan efektif karena jasa perkapalan ekspor impor Indonesia 90 persen masih dikuasai asing.

"Memang, nanti seolah-olah ekspor kita naik dan neraca dagang membaik. Tapi itu hanya di atas kertas, tidak riil," katanya.
       
Susiwijono mengatakan, tujuan utama perubahan skema pencatatan ekspor dari FOB ke CIF bukan untuk meningkatkan nilai ekspor. Tapi untuk meningkatkan validitas dan akurasi pencatatan data neraca berjalan (current account) data neraca pembayaran Indonesia (NPI). Selain itu, juga untuk mendorong penggunaan jasa perkapalan dan asuransi domestik.

"Jadi sama sekali tidak ada kenaikan nilai ekspor dengan sistem pencatatan yang baru ini," ucapnya.
       
Karena itu, lanjut dia, dalam setiap sosialisasi Ditjen Bea Cukai, dia selalu menyatakan nilai transaksi ekspor tidak akan berubah. Yang berubah adalah modul Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB).

"Jika dulu dalam PEB eksporter tidak perlu menuliskan data pembayaran asuransi dan perkapalan, dalam PEB yang baru harus ditulis. Tapi itu terpisah dari nilai ekspor," jelasnya. (owi/oki)


Berita Selanjutnya:
Gaikindo Minta Tambah SPBG

JAKARTA - Pemerintah mencoba satu suara soal kebijakan pencatatan ekspor. Ini terkait dengan polemik perubahan rencana pencatatan ekspor dari skema


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News